Pages

Sabtu, 01 September 2012

Ku Memilih Yesus, Bukan Harta: Sebuah Gema Konfirmasi

Kalau hari ini ada, sebenarnya saya tidak pantas menerima.
Namun setia-Hu selalu terasa, menarik saya kembali pada-Nya.

Hari ini, sekian lama setelah saya meninggalkan kesukaan saya berwaktu teduh bersama-Nya. Ya, beberapa hari belakangan ini saya sudah tidak pernah bersaat teduh tiap pagi, seperti yang dulu selalu saya nanti-nantikan. Entah alasan apa yang mungkin kedengaran masuk akal dan bisa saja saya buat-buat, tetapi kenyataan sesungguhnya hanya satu ini masalahnya: saya malas.
Nah, ini agak lucu kedengarannya, saudara-saudara. Rasanya bodoh sekali memikirkan saya malas bersaat teduh, di tengah-tengah pengetahuan dan perkataan Firman Tuhan yang mungkin sudah “seabrek” saya ketahui. Mestinya, kan, selaras juga dengan kemandirian dan kedisiplinan saya dalam hubungan pribadi dengan Tuhan. Ternyata, dalam kasus ini, saya tidak lebih dari para Farisi yang hanya ngomong doang dalam imannya!
Bersyukur, sangat bersyukur, malam Jumat (entah Kliwon apa bukan) ini, Tuhan mengutus kakak saya terkasih, dr. Sandy Grace Tindage (ah, sebenarnya dia belum dokter, tapi saya suka banget menambahkan gelar impiannya itu di depan namanya. Gak apa-apa, ya, kak J), untuk membantu saya menyadari sisi gelap hati saya yang salah dan—nyaris—kalah malam itu. Tuhan memanggil saya berbalik lagi pada saat itu, dan lihat, panggilan Tuhan untuk kembali kepada-Nya bukanlah hak saya seharusnya. Dalam kondisi seperti ini, dan ini sudah yang kesekian kali, mestinya layak bagi saya untuk tidak lagi diampuni. Tapi, oh terlalu baiknya Tuhan itu! Anugerah-Nya, yang diberikan kepada saya yang tidak layak ini, nyata malam ini dan membawa saya kembali kepada suatu perjumpaan yang manis dan indah bersama-Nya.
Dalam kesempatan pertemuan dengan kakak dokter saya malam ini, saya sempat menceritakan sebuah kegalauan saya, dimana saya yang sekarang di tingkat terakhir ini harus memilih: apakah setamat dari sekolah langsung pergi sekolah Alkitab untuk melayani Tuhan sepenuh waktu, atau tunda setahun dulu untuk kerja? Kakakku itu tidak memberi banyak jawaban sih, dia hanya bilang doakanlah. Nah, saat itu mulailah terbongkar kondisi yang sesungguhnya, dimana belakangan ini saya sudah tidak lagi bersaat teduh maupun berdoa secara pribadi.
Singkat cerita, menutup obrolan kami yang cukup panjang malam itu, kami pun berdoa bersama. Dalam doa kami, saya secara pribadi memohon ampun kepada Tuhan dan memohon kasih karunia Tuhan untuk memperbaiki kehidupan kerohanian saya.
Selepas pulangnya kakak itu dari rumah saya, akhirnya saya memilih mandi (ah, ini juga setelah melewati pergumulan kemalasan). Setelah mandi, saat sedang bersisir di depan kaca, entah mengapa saya teringat sepenggal bait lagu: “Gembalakanlah kawanan domba Allah, yang dipercayakan-Nya padamu” dibarengi cerita kesempatan kedua yang Tuhan Yesus berikan kepada Petrus, “Gembalakanlah domba-domba-Ku”
Ah, sepertinya saya mendapat suatu insight yang menarik! (Eh, sebelumnya, saudara-saudara, saya pastikan dulu, insight itu maksudnya semacam inspirasi gitu, kan? Bukan penglihatan yang serem-serem, lho, maksud saya). Begini, saudara-saudara. Tadi kan saya berdoa mohon ampun sama Tuhan dan minta kesempatan pemulihan HPdT (Yaah, HPdT itu singkatan dari Hubungan Pribadi dengan Tuhan, saudara-saudara), lalu seolah Tuhan berbicara secara pribadi kepada saya, kesempatan kedua yang Tuhan mau berikan buat saya bukan hanya kesempatan perbaikan waktu teduh, melainkan kesempatan untuk Tuhan berikan kepercayaan dalam pelayanan pastoral, seperti Petrus yang tidak hanya diberi kesempatan bertobat, melainkan juga menggembalakan kawanan domba Allah. Saudaraku, suatu hak istimewa bagi saya si pendosa bebal ini, dan kenyataan ini sungguh membuat saya luluh di hadapan Tuhan. Saya merasa begitu lega, tetapi juga begitu terhormat, mendapat otoritas panggilan pelayanan sepenuh waktu dari Allah. Oke, ini satu tanda kecil yang menjawab kebimbangan saya tadi, menurut saya.
Nah, yang menarik, saudara-saudara, konfirmasinya sepertinya tidak cuma sekali terjadi sepanjang malam ini! Ketika akhirnya saya berdoa dan mengungkapkan banyak hal kepada Allah (yeah, kenyataannya saya yang gengsian ini pasti selalu mellow kala berdoa), termasuk pilihan langsung pergi ke seminari atau bekerja dulu selepas sekolah, saya minta Tuhan bukakan bagian firman-Nya bagi saya malam ini. Dan setelah tidak pernah dibuka sekian lama, saudara-saudara, akhirnya malam ini saya kembali membuka Alkitab dan bahan renungan saya! (Ayo pakai sound effect yang keren pada saat membaca bagian ini!)
Tidak disangka dan tidak diduga, saudara-saudara, bagian firman Tuhan malam ini adalah Lukas 18:18-30, yaitu orang kaya yang saleh dan sempurna menjalankan Taurat bertanya kepada Yesus bagaimana caranya beroleh hidup yang kekal, lalu ketika Yesus berkata padanya untuk mejual seluruh hartanya, ia menjadi teramat sedih. Saya menemukan suatu fakta yang menarik di bagian ini, dimana orang kaya tersebut, meskipun telah menjalankan taurat dengan sempurna sejak masa mudanya, tetap saja dalam hidupnya ada kekosongan, ketidakpuasan, or something like that, yang dikarenakan tidak adanya kepastian hidup kekal dalam dirinya. Dan Yesus membawanya kepada satu prinsip terpenting dalam kehidupan Kekristenan: lepaskan semua yang ada padamu dan serahkan hidupmu seutuhnya jadi milik Yesus.
Saudaraku, bayangkanlah, saya yang sedang galau memilih langsung sekolah Alkitab atau kerja dulu, kemudian diperhadapkan dengan nats seperti demikian! Bukan ayat-ayat pengutusan pelayanan sepenuh hati seperti “Ini aku, utuslah aku!”, melainkan hanya sebuah bagian cerita kecil dari kitab Sinoptik terakhir, “Juallah seluruh hartamu... Ikutlah Aku.” Hei, bagi saya, perikop ini begitu dalam memanggil saya kembali kepada prioritas hidup saya—ehm, mungkin lebih tepat saya bilang visi hidup—memilih Yesus lebih dari semua!
Panggilan dalam bagian firman Tuhan kali ini rasanya begitu kuat terdengar. Panggilan yang bergaung bagi saya untuk terus melayani Kristus dan menanggalkan seluruh harta dunia yang berpotensi saya kejar. Melayani Kristus dan menanggalkan seluruh pencapaian-pencapaian duniawi yang fana sifatnya. Melayani Kristus sepenuh waktu tanpa peduli akan diri sendiri, apa yang saya makan-minum-pakai pasti tersedia dalam pemeliharaan-Nya. Melayani Yesus dan melupakan harta!
Saudaraku, satu lagi yang begitu luar biasa dan tidak terbayangkan di benak saya. Di akhir dari teks renungan yang saya baca malam itu, tertera sebait pujian yang begitu bermakna bagi saya pribadi. Pujian ini adalah pujian yang pertama kali dulu memanggil saya kepada pelayanan sepenuh waktu di ladang-Nya. Pujian ini yang selalu memberi kekuatan dan peneguhan ketika saya hampir-hampir merasa pelayanan sepenuh waktu bukan lagi menjadi panggilan Tuhan bagi saya. Pujian ini—sekali lagi—Tuhan berikan di malam ini, kala saya sedang galau-galaunya dalam meresponi panggilan-Nya!
Saudara, bisakah engkau mengerti perasaan dan pikiran saya saat ini? Apa yang ada di benak Tuhan memberikan tiga konfirmasi berturut-turut di tengah kebimbangan hati saya, bahkan kalau engkau ingat, malam ini adalah pertama kalinya saya bersaat teduh kembali setelah beberapa hari meninggalkannya! Mengapa Tuhan mengkonfirmasikan suatu kepercayaan pelayanan yang begitu penting kepada seorang pendosa seperti saya? Oh Tuhan, tentu terlalu besar kasih-Mu yang tidak dapat lagi kumengerti, dan tidak sanggup lagi kukhianati!
Saudara, malam ini, lagu pujian yang selalu Tuhan pakai menguatkan saya untuk konsisten mempersiapkan diri melayani-Nya sepenuh waktu itu, dipakai-Nya lagi. Dan setiap kali saya mendengar atau melihat pujian tersebut, getaran hati ini memang tak pernah padam dan terus meyakini hati kecil saya untuk tetap terjun ke dalam pelayanan sepenuh waktu bersama-Nya.
Pada akhirnya, sudara-saudara, dalam doa malam saya kepada Tuhan, saya berkomitmen kembali menjawab “YA!” untuk semua panggilan Tuhan buat saya, tanpa kompromi apapun. Keraguan tetap ada, ketakutan juga ada, tetapi saya mau serahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan. Tuhan yang memanggil, Tuhan yang memampukan, Tuhan yang dimuliakan!
Okelah, saudaraku, di akhir dari tulisan ini, terlebih dahulu saya harus berterimakasih. Berterimakasih kepadamu karena tentu engkau telah setia mendoakan saya. Berterimakasih kepadamu atas kekuatan dan dukungan yang begitu berarti yang telah kau torehkan dalam hidup saya. Terlebih-lebih, terimakasih karena engkau telah sedia waktu menyimak cerita-cerita saya di blog ini!
Satu permohonan saya, saudaraku, tetaplah mendoakanku. Doakanlah saya agar saya tetap dalam jalan-Nya. Engkau tentu tidak akan memuji Tuhan Yesus, apabila seseorang yang saat ini bersaksi tentang peneguhan yang baru saja diterimanya untuk melayani sepenuh waktu, ternyata suatu hari nanti kau dapati membelok dan berbalik dari jalan kebenaran yang seharusnya.
Engkau tentu tidak akan memuji Tuhan Yesus, apabila suatu hari nanti kau temui hidupku tidak jadi pekabar Injil, malahan hanya merusak Injil!
Untuk itu, saudaraku terkasih, doakanlah aku!
Dan ketika kau mendapatinya: saat-saat aku mempertanyakan Tuhan, saat-saat aku beralih, saat-saat aku kehilangan pijakan, saat-saat aku jatuh, saat-saat aku galau, saat-saat aku tidak berintegritas, dan saat-saat buruk lainnya dalam hidupku, kumohon, saudaraku, nyanyikanlah lagi pujian ini bagiku!

Kumemilih Yesus bukan harta,
Dan Dia milikku melebihi semua
Kumemilih Yesus, bukan ladang
Biar tangan-Nya yang menuntunku.
Ku tak mau jadi raja penguasa
Namun dib’lenggu dosa
Kumemilih Yesus lebih indah dari semuanya!
-KPPK 325/BLP 196-

0 komentar:

Posting Komentar