Kalau hari ini ada, sebenarnya saya tidak pantas menerima.
Namun setia-Hu selalu terasa, menarik saya kembali pada-Nya.
Hari ini, sekian lama setelah
saya meninggalkan kesukaan saya berwaktu teduh bersama-Nya. Ya, beberapa hari
belakangan ini saya sudah tidak pernah bersaat teduh tiap pagi, seperti yang
dulu selalu saya nanti-nantikan. Entah alasan apa yang mungkin kedengaran masuk
akal dan bisa saja saya buat-buat, tetapi kenyataan sesungguhnya hanya satu ini
masalahnya: saya malas.
Nah, ini agak lucu kedengarannya,
saudara-saudara. Rasanya bodoh sekali memikirkan saya malas bersaat teduh, di
tengah-tengah pengetahuan dan perkataan Firman Tuhan yang mungkin sudah “seabrek” saya ketahui. Mestinya, kan,
selaras juga dengan kemandirian dan kedisiplinan saya dalam hubungan pribadi
dengan Tuhan. Ternyata, dalam kasus ini, saya tidak lebih dari para Farisi yang
hanya ngomong doang dalam imannya!
Bersyukur, sangat bersyukur,
malam Jumat (entah Kliwon apa bukan) ini, Tuhan mengutus kakak saya terkasih,
dr. Sandy Grace Tindage (ah, sebenarnya dia belum dokter, tapi saya suka banget
menambahkan gelar impiannya itu di depan namanya. Gak apa-apa, ya, kak J), untuk membantu saya
menyadari sisi gelap hati saya yang salah dan—nyaris—kalah malam itu. Tuhan
memanggil saya berbalik lagi pada saat itu, dan lihat, panggilan Tuhan untuk
kembali kepada-Nya bukanlah hak saya seharusnya. Dalam kondisi seperti ini, dan
ini sudah yang kesekian kali, mestinya layak bagi saya untuk tidak lagi
diampuni. Tapi, oh terlalu baiknya Tuhan itu! Anugerah-Nya, yang diberikan
kepada saya yang tidak layak ini, nyata malam ini dan membawa saya kembali
kepada suatu perjumpaan yang manis dan indah bersama-Nya.
Dalam kesempatan pertemuan dengan
kakak dokter saya malam ini, saya sempat menceritakan sebuah kegalauan saya,
dimana saya yang sekarang di tingkat terakhir ini harus memilih: apakah setamat
dari sekolah langsung pergi sekolah Alkitab untuk melayani Tuhan sepenuh waktu,
atau tunda setahun dulu untuk kerja? Kakakku itu tidak memberi banyak jawaban
sih, dia hanya bilang doakanlah. Nah, saat itu mulailah terbongkar kondisi yang
sesungguhnya, dimana belakangan ini saya sudah tidak lagi bersaat teduh maupun
berdoa secara pribadi.
Singkat cerita, menutup obrolan
kami yang cukup panjang malam itu, kami pun berdoa bersama. Dalam doa kami,
saya secara pribadi memohon ampun kepada Tuhan dan memohon kasih karunia Tuhan
untuk memperbaiki kehidupan kerohanian saya.
Selepas pulangnya kakak itu dari
rumah saya, akhirnya saya memilih mandi (ah, ini juga setelah melewati
pergumulan kemalasan). Setelah mandi, saat sedang bersisir di depan kaca, entah
mengapa saya teringat sepenggal bait lagu: “Gembalakanlah
kawanan domba Allah, yang dipercayakan-Nya padamu” dibarengi cerita
kesempatan kedua yang Tuhan Yesus berikan kepada Petrus, “Gembalakanlah domba-domba-Ku”
Ah, sepertinya saya mendapat
suatu insight yang menarik! (Eh,
sebelumnya, saudara-saudara, saya pastikan dulu, insight itu maksudnya semacam
inspirasi gitu, kan? Bukan penglihatan yang serem-serem, lho, maksud saya).
Begini, saudara-saudara. Tadi kan saya berdoa mohon ampun sama Tuhan dan minta
kesempatan pemulihan HPdT (Yaah, HPdT itu singkatan dari Hubungan Pribadi
dengan Tuhan, saudara-saudara), lalu seolah Tuhan berbicara secara pribadi
kepada saya, kesempatan kedua yang Tuhan mau berikan buat saya bukan hanya
kesempatan perbaikan waktu teduh, melainkan kesempatan untuk Tuhan berikan
kepercayaan dalam pelayanan pastoral, seperti Petrus yang tidak hanya diberi
kesempatan bertobat, melainkan juga menggembalakan kawanan domba Allah.
Saudaraku, suatu hak istimewa bagi saya si pendosa bebal ini, dan kenyataan ini
sungguh membuat saya luluh di hadapan Tuhan. Saya merasa begitu lega, tetapi
juga begitu terhormat, mendapat otoritas panggilan pelayanan sepenuh waktu dari
Allah. Oke, ini satu tanda kecil yang menjawab kebimbangan saya tadi, menurut
saya.
Nah, yang menarik,
saudara-saudara, konfirmasinya sepertinya tidak cuma sekali terjadi sepanjang
malam ini! Ketika akhirnya saya berdoa dan mengungkapkan banyak hal kepada
Allah (yeah, kenyataannya saya yang gengsian ini pasti selalu mellow kala berdoa), termasuk pilihan
langsung pergi ke seminari atau bekerja dulu selepas sekolah, saya minta Tuhan
bukakan bagian firman-Nya bagi saya malam ini. Dan setelah tidak pernah dibuka
sekian lama, saudara-saudara, akhirnya malam ini saya kembali membuka Alkitab
dan bahan renungan saya! (Ayo pakai sound
effect yang keren pada saat membaca bagian ini!)
Tidak disangka dan tidak diduga,
saudara-saudara, bagian firman Tuhan malam ini adalah Lukas 18:18-30, yaitu
orang kaya yang saleh dan sempurna menjalankan Taurat bertanya kepada Yesus
bagaimana caranya beroleh hidup yang kekal, lalu ketika Yesus berkata padanya
untuk mejual seluruh hartanya, ia menjadi teramat sedih. Saya menemukan suatu
fakta yang menarik di bagian ini, dimana orang kaya tersebut, meskipun telah
menjalankan taurat dengan sempurna sejak masa mudanya, tetap saja dalam
hidupnya ada kekosongan, ketidakpuasan, or
something like that, yang dikarenakan tidak adanya kepastian hidup kekal
dalam dirinya. Dan Yesus membawanya kepada satu prinsip terpenting dalam
kehidupan Kekristenan: lepaskan semua yang ada padamu dan serahkan hidupmu
seutuhnya jadi milik Yesus.
Saudaraku, bayangkanlah, saya
yang sedang galau memilih langsung sekolah Alkitab atau kerja dulu, kemudian
diperhadapkan dengan nats seperti demikian! Bukan ayat-ayat pengutusan pelayanan
sepenuh hati seperti “Ini aku, utuslah
aku!”, melainkan hanya sebuah bagian cerita kecil dari kitab Sinoptik
terakhir, “Juallah seluruh hartamu...
Ikutlah Aku.” Hei, bagi saya, perikop ini begitu dalam memanggil saya
kembali kepada prioritas hidup saya—ehm, mungkin lebih tepat saya bilang visi
hidup—memilih Yesus lebih dari semua!
Panggilan dalam bagian firman
Tuhan kali ini rasanya begitu kuat terdengar. Panggilan yang bergaung bagi saya
untuk terus melayani Kristus dan menanggalkan seluruh harta dunia yang berpotensi
saya kejar. Melayani Kristus dan menanggalkan seluruh pencapaian-pencapaian
duniawi yang fana sifatnya. Melayani Kristus sepenuh waktu tanpa peduli akan
diri sendiri, apa yang saya makan-minum-pakai pasti tersedia dalam
pemeliharaan-Nya. Melayani Yesus dan melupakan harta!
Saudaraku, satu lagi yang begitu
luar biasa dan tidak terbayangkan di benak saya. Di akhir dari teks renungan
yang saya baca malam itu, tertera sebait pujian yang begitu bermakna bagi saya
pribadi. Pujian ini adalah pujian yang pertama kali dulu memanggil saya kepada
pelayanan sepenuh waktu di ladang-Nya. Pujian ini yang selalu memberi kekuatan
dan peneguhan ketika saya hampir-hampir merasa pelayanan sepenuh waktu bukan
lagi menjadi panggilan Tuhan bagi saya. Pujian ini—sekali lagi—Tuhan berikan di
malam ini, kala saya sedang galau-galaunya dalam meresponi panggilan-Nya!
Saudara, bisakah engkau mengerti perasaan
dan pikiran saya saat ini? Apa yang ada di benak Tuhan memberikan tiga
konfirmasi berturut-turut di tengah kebimbangan hati saya, bahkan kalau engkau
ingat, malam ini adalah pertama kalinya saya bersaat teduh kembali setelah
beberapa hari meninggalkannya! Mengapa Tuhan mengkonfirmasikan suatu
kepercayaan pelayanan yang begitu penting kepada seorang pendosa seperti saya?
Oh Tuhan, tentu terlalu besar kasih-Mu yang tidak dapat lagi kumengerti, dan
tidak sanggup lagi kukhianati!
Saudara, malam ini, lagu pujian
yang selalu Tuhan pakai menguatkan saya untuk konsisten mempersiapkan diri
melayani-Nya sepenuh waktu itu, dipakai-Nya lagi. Dan setiap kali saya
mendengar atau melihat pujian tersebut, getaran hati ini memang tak pernah
padam dan terus meyakini hati kecil saya untuk tetap terjun ke dalam pelayanan
sepenuh waktu bersama-Nya.
Pada akhirnya, sudara-saudara,
dalam doa malam saya kepada Tuhan, saya berkomitmen kembali menjawab “YA!”
untuk semua panggilan Tuhan buat saya, tanpa kompromi apapun. Keraguan tetap
ada, ketakutan juga ada, tetapi saya mau serahkan semuanya ke dalam tangan
Tuhan. Tuhan yang memanggil, Tuhan yang memampukan, Tuhan yang dimuliakan!
Okelah, saudaraku, di akhir dari
tulisan ini, terlebih dahulu saya harus berterimakasih. Berterimakasih kepadamu
karena tentu engkau telah setia mendoakan saya. Berterimakasih kepadamu atas
kekuatan dan dukungan yang begitu berarti yang telah kau torehkan dalam hidup
saya. Terlebih-lebih, terimakasih karena engkau telah sedia waktu menyimak
cerita-cerita saya di blog ini!
Satu permohonan saya, saudaraku,
tetaplah mendoakanku. Doakanlah saya agar saya tetap dalam jalan-Nya. Engkau
tentu tidak akan memuji Tuhan Yesus, apabila seseorang yang saat ini bersaksi
tentang peneguhan yang baru saja diterimanya untuk melayani sepenuh waktu,
ternyata suatu hari nanti kau dapati membelok dan berbalik dari jalan kebenaran
yang seharusnya.
Engkau tentu tidak akan memuji
Tuhan Yesus, apabila suatu hari nanti kau temui hidupku tidak jadi pekabar
Injil, malahan hanya merusak Injil!
Untuk itu, saudaraku terkasih,
doakanlah aku!
Dan ketika kau mendapatinya:
saat-saat aku mempertanyakan Tuhan, saat-saat aku beralih, saat-saat aku
kehilangan pijakan, saat-saat aku jatuh, saat-saat aku galau, saat-saat aku
tidak berintegritas, dan saat-saat buruk lainnya dalam hidupku, kumohon,
saudaraku, nyanyikanlah lagi pujian ini bagiku!
Kumemilih Yesus bukan harta,
Dan Dia milikku melebihi semua
Kumemilih Yesus, bukan ladang
Biar tangan-Nya yang menuntunku.
Ku tak mau jadi raja penguasa
Namun dib’lenggu dosa
Kumemilih Yesus lebih indah dari semuanya!
-KPPK 325/BLP 196-
0 komentar:
Posting Komentar