Pages

Senin, 19 Desember 2011

Hak Atas Pendidikan yang Layak Adalah Hak Asasi Manusia


            “Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah.” Demikian bunyi syair salah satu lagu lawas Indonesia. Beberapa orang juga mendukung kebenaran dari syair tersebut, bahkan tak jarang orangtua menggunakan kalimat syair tersebut sebagai petuah bagi anak-anaknya.
            Memang yang menjadi pemahaman masyarakat Indonesia pada umumnya, masa yang terindah dalam kehidupan manusia adalah usia sekolah. Usia dimana seseorang belum dituntut memikirkan atau mengurusi banyak hal. Belum diminta mengurusi soal-menyoal bangsa dan negara, belum perlu pusing memikirkan harga beras dan cabai yang melonjak terus, belum sibuk menghadiri pertemuan ini dan itu. Seseorang yang masih dalam usia sekolah hanya berkewajiban mengenyam dan menjalankan pendidikannya dengan sungguh-sungguh. Waktu-waktunya hanya dialokasikan untuk belajar, mengerjakan tugas, dan bermain. Sepertinya begitu bebas, lepas, dan tidak berbeban. Itu sebabnya masa-masa sekolah dikatakan orang sebagai masa yang terindah.
            Kalau kita melihatnya dari kacamata orang dewasa, mungkin kita akan berpendapat senada. Orang dewasa yang sibuk bekerja, memiliki tanggung jawab ini dan itu, memiliki segudang tagihan yang harus dibayarkan, pasti merindukan masa-masa ketika ia bermain, bercanda, dan bergembira bersama teman-temannya di sekolah. Namun, apabila kita melihat dari kacamata siswa itu sendiri, apakah benar demikian? Apakah seorang siswa sudah merasakan kalau masa-masanya saat ini—saat menjadi siswa—adalah masa yang terindah? Apakah gedung sekolah dan segala kegiatan di dalamnya bisa menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi mereka? Apakah benar mereka menganggap masa mereka menyenangkan untuk digeluti, atau justru mungkin seorang siswa tidak menyenangi masanya dan malah menginginkan berada di masa yang lain yang mungkin menurut mereka jauh lebih menyenangkan daripada masa sekolah?
Lalu, bagaimana kalau kita melihat lebih luas lagi, dari kacamata seorang pendidik? Atau dari kacamata orangtua murid? Atau bahkan dari kacamata bangsa? Bagaimanakah pandangan dan harapan mereka mengenai kehidupan kesiswaan?
            Saya banyak mendengar dan mengetahui secara langsung maupun tidak langsung, siswa usia sekolah menengah atas seperti saya tidak lagi menjalankan kegiatan sekolahnya dengan motivasi yang tulus. Mereka bersekolah hanya sebagai rutinitas belaka, hanya karena paksaan orangtuanya, dan hanya untuk menerima ijazah guna memperoleh pengakuan dari keluarga dan masyarakat. Supaya gampang cari kerja, begitu katanya. Namun, apa guna selembar ijazah apabila dibandingkan dengan ilmu dan kualitas diri yang dimilikinya? Lantas apabila seorang siswa tidak memiliki niat dari dalam dirinya untuk bersekolah—yang sebenarnya juga untuk kepentindan dirinya sendiri—bagaimana ia dapat memperoleh ilmu dan kualitas diri yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan di dunia nyata? Masih lebih baik apabila hanya tidak memiliki motivasi. Pada kenyataannya, saya kenal beberapa orang teman yang bahkan tidak merasa membutuhkan pendidikan. Bayangkan, generasi muda Indonesia yang diharapkan dapat menjadi penerus bangsa, menganggap pendidikan bukanlah sebagai sesuatu yang mereka butuhkan.
            Orangtua murid pun tidak dapat berbuat banyak, karena banyak juga dari mereka yang belum mengerti apa pentingnya pendidikan bagi kehidupan putra-putri mereka kelak. Seorang tukang bangunan, misalnya. Banyak tukang bangunan yang bertekad anak-anaknya harus mengecap pendidikan lebih tinggi daripada dirinya. Namun, mereka tidak bisa terima kalau dimintai biaya ini itu untuk menunjang pendidikan “tinggi” yang sebenarnya mereka inginkan sendiri. Dibilangnya sekolah yang mengada-ada biaya. Padahal, dalam beberapa situasi, memang diperlukan biaya yang jumlahnya mungkin tidak sedikit bagi para tukang bangunan.
Atau dalam kasus lain, dimana misalnya ada orangtua yang sama sekali tidak peduli soal pendidikan anaknya. Bagi mereka, bisa baca tulis hitung saja sudah cukup sebagai modal mencari pekerjaan. Orientasinya adalah kepada uang, dimana apabila anak-anak mereka bisa menghasilkan uang banyak, berarti mereka sudah berprestasi, tanpa peduli ilmu ataupun pengembangan diri yang mereka miliki. Saya berani katakan kepada orang semacam ini, pekerjaan tertinggi yang bisa diraih anak-anaknya paling-paling hanya sebagai salesman. Seberapa hebat mereka mempengaruhi orang lain untuk membeli produknya, sehebat itulah prestasinya.
Atau mungkin, ada juga orangtua yang menyerahkan pendidikan anaknya 100% kepada pihak sekolah, namun di rumah mereka tidak dibina dengan nilai-nilai kekeluargaan yang benar. Sekalipun sekolah berhasil mendidik anaknya menjadi siswa terpandai, namun tanpa nilai-nilai moril dari keluarga, bukan tidak mungkin kepintaran itu malah beresiko menjadi kepintaran yang menghancurkan. Koruptor dan teroris, misalnya. Mereka itu orang pintar, bahkan mungkin kepintarannya di atas rata-rata. Namun, kepintaran mereka itu malah mereka jadikan sebagai sarana memperoleh keuntungan sendiri dan merugikan orang lain.
Ketika ditanya mengapa, para orangtua yang tidak concern terhadap pendidikan anaknya seperti beberapa contoh kasus di atas hanya dapat menjawab pusing. Pusing, pusing, pusing, dan pusing. Mengurus keluarga saja sudah susah, tambah lagi mengurusi sekolah anak. Mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan hidup saja sudah menyiksa, apalagi ditambah dengan memikirkan pendidikan anak. Pusing. Anak saya bisa kerja, itu sudah bagus. Ilmu, apalah artinya?
Kalau bicara siswa dan orang tua saja sudah rumit, lebih lagi menyoroti sudut pandang seorang pendidik. Para guru, yaitu mereka yang patut digugu dan ditiru. Pada zaman ini, berapa banyak guru yang memang menjalankan tugasnya mendidik secara benar dan profesional, terlepas dari apapun motivasi yang mendasarinya? Ditengah padatnya tugas menyusun perangkat pembelajaran—RPP, silabus, program-program, dan sebagainya—kapan lagi sempat memeriksa PR satu per satu? Jelas lebih penting mengurusi sertifikasi dan fungsional daripada akhlak dan kepribadian siswa. Toh siswa yang saya ajar, bukan siapa-siapa saya. Bukan anak saya, bukan saudara saya. Masa depan mereka ya urusan mereka, bukan urusan saya. Yang penting tugas saya sudah saya jalankan, yaitu memberi catatan untuk mereka hafal dan latihan untuk mereka kerjakan. Kalau mereka masih bodoh juga, itu salah mereka, atau salah orangtua yang tidak peduli dengan mereka. Tugas pendidik yang seharusnya—yaitu mendidik—kini telah bergeser menjadi sebatas mengajar. Sedikit kita temui guru yang merupakan pendidik, karena kebanyakan guru telah beralih menjadi pengajar.
Dalam idealisme yang seharusnya—yaitu konteks idealisme bangsa dan negara—menurut alinea keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang dalam praktiknya mencakup kegiatan pendidikan, termasuk di dalamnya kegiatan pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan ini turut juga diperjuangkan oleh pemerintah dengan berbagai cara, misalnya dengan mencanangkan program Wajib Belajar Sembilan Tahun, program subsidi sekolah hingga sekolah gratis, program internet goes to school, dan lain sebagainya. Bahkan, dalam beberapa landasan hukum yang berlaku di Indonesia, pendidikan dipaterikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, misalnya saja dalam Pasal 26 Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948, Pasal 28 C dan Pasal 31 dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan masih banyak lagi Peraturan Perundang-Undangan yang menyinggung soal pendidikan bagi warga negara. Benang merah dari semua landasan hukum tersebut pada umumnya sama, yaitu seluruh warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan hak untuk mendapatkan pendidikan itu berada dalam lindungan negara.
            Namun, realita yang terjadi sekarang sepertinya berbalik dari idealisme dan landasan hukum yang berlaku. Sepertinya semua idealisme dan ketetapan-ketetapan negara tersebut telah bergeser nilainya, dari jaminan mutlak menjadi impian muluk. Bahkan segala program yang telah dicanangkan pemerintah juga menjadi seperti pepesan kosong belaka yang tidak memiliki kontribusi apapun dalam pertambahan mutu dan nilai generasi penerus. Mungkin pencanangan program sudah dilakukan dengan baik, namun apakah realisasinya sebaik apa yang dicanangkan? Penyimpangan apa yang telah terjadi dan mengapa bisa terjadi?
            Memang, pemerintah jelas tidak salah dalam mencanangkan program pengembangan pendidikan. Apalagi beberapa di antaranya telah direalisasikan pula. Namun, saya mencoba melihat lebih dalam, dimana realisasi yang terjadi sekarang bukanlah realisasi yang seharusnya. Realisasi yang seharusnya pasti bisa lebih baik daripada realisasi yang kita lihat dan rasakan saat ini. Program-program yang dilaksanakan pemerintah memang strategis, namun mengapa sasaran dan keuntungan yang dapat diambil dari dalamnya kebanyakan berbalik kepada pemerintah itu sendiri?
Saya jarang sekali melihat program pengembangan pendidikan yang memang dasarnya tulus untuk mereka yang membutuhkan pendidikan. Suatu program pengembangan pendidikan yang tidak muluk tetapi nyata. Tidak ada niat mengambil keuntungan dari dalamnya selain daripada mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam menyusun tulisan ini saya menggarisbawahi kalimat tersebut, khususnya pada kata mencerdaskan. Tujuan negara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Logikanya, yang perlu dicerdaskan adalah mereka yang belum cerdas. Kalau ada anak bangsa yang sudah cerdas, mereka tidak perlu lagi dicerdaskan. Malahan mereka wajib berpartisipasi dalam mencerdaskan orang lain yang belum cerdas. Menurut saya, yang perlu dicerdaskan bukanlah mereka yang sudah berseragam putih abu-abu, melainkan lebih kepada mereka yang masih tidak berbaju, yang tidur tidak menentu, yang mau makan apa juga tidak tahu. Mereka yang belum pernah merasakan sekolah. Mereka yang belum pernah menikmati buku pelajaran, karena terpaksa memikirkan kerasnya hidup ini. Karena terpaksa memikul beban hidup di pundak, dan terpaksa juga memutar otak mencari cara menanggung beban itu. Dalam hati nurani mereka, mereka pasti mau juga sekolah seperti saya. Saya yakin itu. Namun banyak dari antara mereka menolak untuk sekolah, karena sekolah sudah menjadi momok bagi mereka. Mikir makan saja sudah susah, apalagi mikir matematika dan fisika. Mungkin begitu batin mereka. Ya, itu wajar terjadi di kalangan mereka, namun bukankah ini namanya ketidakadilan?
Kalau hak atas pendidikan adalah Hak Asasi Manusia, saya setuju itu. Namun saya mau tambahkan. Hak atas pendidikan yang layak adalah Hak Asasi Manusia. Pendidikan yang dibutuhkan generasi penerus adalah pendidikan yang layak. Anak-anak yang dipaksa mengamen di lampu merah juga mengalami pendidikan, bukan? Mereka mendapat pendidikan langsung dari pengalaman. Mereka mendapat pendidikan langsung dari kerasnya hidup. Mereka mendapat pendidikan langsung dari sekolah kehidupan. Namun, apakah itu layak? Bagi saya, itu belum layak. Mereka layak dapat yang lebih.
Kita tidak bisa mempersalahkan siapa-siapa. Siswa yang menganggap sekolah tidak penting, tidak bisa disalahkan. Siapa tahu orangtuanya menerapkan pola pikir seperti itu di rumah. Bisa kerja, sudah syukur. Orangtua yang beranggapan seperti itu juga tidak bisa disalahkan. Sudah susah memikirkan cari uang. Pendidikan anak sepenuhnya tanggung jawab pihak sekolah. Adapun guru yang tidak mementingkan tugas dan tanggung jawabnya mendidik, juga tidak bisa disalahkan. Gaji mereka kecil, sehingga perlu putar otak cari penghasilan tambahan. Jadi, salahkan siapa? Tidak ada. Kalaupun mau menyalahkan, salahkan mereka yang berani menyimpangkan penggunaan anggaran pendidikan 20% persen dari APBN itu, kita tidak tahu berapa yang benar-benar tersalur untuk pengembangan pendidikan. Mungkin hanya 15%? Mungkin hanya 10%? Atau hanya 1%? Bagi saya, yang salah adalah mereka yang berani menyimpangkan amanat mulia negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hak atas pendidikan yang layak adalah Hak Asasi Manusia. Untuk itu, saya mengajak kita yang masih sadar, untuk bahu-membahu dalam memperjuangkannya. Dimulai dari kita, barulah mereka yang tidak sadar bisa disadarkan. Majulah Pendidikan Indonesia!

0 komentar:

Posting Komentar