Pages

Senin, 19 Desember 2011

Datanglah Kerajaan-Mu, Jadilah Kehendak-Mu: Sebuah Komitmen Penundukan Diri

 “May Your Kingdom come to the nations,
Your will be done in the peoples of the earth,
‘till the whole world knows that Jesus Christ is Lord,
May Your Kingdom come in us.”
—May Your Kingdom Come In Us

            Inilah bait terakhir lagu yang dinyanyikan pada penutup acara Ibadah Natal Perkantas 2011: “Sambut Raja-Mu, Nyatakan Kerajaan-Nya!” Yang dilangsungkan di Gelanggang Remaja Otista pada hari Sabtu, 4 Desember 2011 yang lalu.
            Memang bukan sebuah perayaan natal yang spektakuler menurut saya, mengingat setiap tahun saya kerap kali mengikuti perayaan natal dengan berbagai versi, dari yang hening hanya dengan denting piano saja, hingga yang menampilkan pertunjukan kolosal bak ulangtahun stasiun TV ternama. Bagi saya, natal Perkantas kemarin tidak mewah, tapi tidak sederhana. Dengan kata lain, porsinya pas.
            Namun sungguh saya merasakan sesuatu yang lain ketika mengikuti rangkaian Ibadah. saya hadir di sana bersama Mama dan Tante, dan karena sesuatu dan lain hal, kami datang terlambat, ups... sesaat sebelum khotbah dimulai (See, kadang-kadang sebagian orang Kristen beranggapan, kalau khotbah belum dimulai berarti mereka tidak terlambat datang).
            Pak Mangapul Sagala—sepertinya beliau akan jadi dosen saya kelak J--menyampaikan khotbahnya dengan renyah, gurih, dan menjawab. Saya percaya itu bukan semata-mata kehebatan beliau, melainkan urapan Roh Kudus yang memimpin dan berkarya secara dahsyat di dalam dirinya.
            Sungguh, sepanjang pemberitaan Firman Tuhan, hati dan otak saya diaduk-aduk. Saya amat serius (baca: tegang) mendengarkan. Meskipun saya kerap kali mencoba santai, tetap tidak bisa. Sungguh sesuatu yang aneh menurut saya, saya belum pernah rasakan seperti ini. Otak saya yang terbatas ini, malam ini sungguh mencerna sekeras-kerasnya, menguyah sampai benar-benar lumat, dan memang benar, apa yang saya telan malam itu berbekas dan mendalam. Hati saya, yang paling senang menyerap inspirasi atau quote-quote bagus dari para pendeta, kini tidak demikian. Hati saya jadi mendidih, panas. Sungguh, ini bukan lebay. Sepertinya ada sesuatu yang besar yang menggelisahkan yang menyebabkan hati saya panas seperti dibakar, dan tentunya membuat saya jadi tidak tenang.
            Candaan-candaan yang dilempar pak Pendeta memang menyegarkan, tetapi jadi tidak lezat bagi saya. Ibarat kerupuk, memang garing dan gurih, tapi kalau disuruh memilih: pasti kita memilih nasi. Yang menggairahkan bagi saya adalah ketika beliau [Pak Mangapul] berteriak, mengaduh, dan melirih soal carut-marutnya kondisi bangsa dan pentingnya peran siswa, mahasiswa, dan alumni Kristen dalam pembenahannya. Jujur, saya bukan orang yang tertarik dengan hal yang begituan!
Dulu—waktu masih SMP—saya amat idealis. Saya harus membangun diri saya. Membangun sekolah saya. Membangun gereja saya. Membangun negeri saya. Tapi itu dulu. Setelah SMK—sampai saat ini saya tidak terlalu tertarik menyebutnya karena bidangnya tidak saya sukai—saya sepertinya kelelahan. Kelelahan memikirkan kemajuan diri. Kelelahan memikirkan pengembangan pelayanan. Kelelahan mengerjakan segala tugas-tugas. Kelelahan meraih prestasi dalam balutan seragam putih abu (perhatikan statement terakhir. Bagi saya ini sungguh bodoh karena terdengar seperti milyuner yang bilang “saya lelah jadi orang kaya”—it’s mean “kesia-siaan”—seperti kata Raja Salomo sang Pengkhotbah).
Yah, karena penyakit kelelahan akut yang saya derita, saya jadi apatis. Lebih dari itu, depresif. Saya sering sekali stress, entah karena apa. Malam-malam susah tidur. Sedang beraktivitas, tak jarang kepala ini rasanya berat sekali hingga mau pecah (entahlah, ini penyakit atau depresi akut, sampai sekarang saya belum tahu). Saya tidak pernah lagi peduli soal apapun selain soal diri saya dan kepuasan saya. Malu sih, menulis seperti ini. Tetapi bagi saya, penulis yang hanya mampu mengkritik sekitar tanpa pernah mengkritisi dirinya hanyalah seorang penulis murahan, yang menulis karena uang atau karena permintaan orang (Well, berapa digit nol sih yang cukup untuk membayar rangkaian frasa dari buah pemikiran sadar para manusia, terlepas benar-salah atau positif-negatifnya? Bagi saya hanya kekekalan yang mampu membayarnya. Prinsipnya gampang saja, yang benar ke surga, yang cemar ke neraka).
Kembali soal ketidakpedulian saya. Yah, itulah. Saya sudah tidak mau tahu akan apapun—kecuali diri dan hidup saya. Saya pernah malu dengan keadaan seperti itu, sehingga saya melahirkan puisi berjudul “Aku”. Tetapi saat itu, saya hanya melihat diri saya di permukaan. Sudah tahu apa masalahnya, tapi tidak saya cabut, melainkan cuma saya tulis. Saya tidak pernah mau tau lagi soal sekolah, gereja, masyarakat, maupun bangsa. Bahkan saya punya pemikiran ekstrim yang benar-benar salah ketika saya mengkritik Mama saya yang gencar melayani di Persekutuan Alumni-nya. Saya bilang sama Mama, “Kalian repot-repot melakukan berbagai program dan aksi sosial, untuk apa? Untuk memperbaiki dunia ini? Bagiku dunia ini tidak akan berubah menjaadi lebih baik karena akhir zaman memang telah dinubuatkan, dan saat inilah zaman akhir itu. Kalau semua manusia hidup sejahtera dan dunia berhasil kalian ubah menjadi lebih baik, tentu kiamat tidak akan terjadi, bukan?” Gila! Saya sudah gila!
Tetapi saya berterimakasih. Sangat berterimakasih kepada Tuhan. Tuhan yang amat mengasihi saya, terbukti dengan Ia mengirimkan saya ke GOR Otista pada malam itu. Sepanjang Pak Mangapul berbicara, perhatian saya tertuju untuk mendengarkan beliau. Namun, hati dan telinga saya sepertinya menangkap “oknum” (saya tidak bisa bilang sesuatu atau seseorang karena saya sendiri bahkan tidak tahu) yang juga berbicara kepada saya. Bukan berbicara hal lain, melainkan menegaskan dan sepertinya mengulangi dengan lebih keras apa yang disampaikan Pak Mangapul di atas mimbar.
Serius, saya benar-benar tidak nyaman dan agak sedikit ketakutan pada waktu itu. Pikiran saya sudah penuh banget, kisruh, semuanya memuncak, tegangan yang saya rasakan adalah tegangan tinggi. Biasanya kalau sudah seperti itu, bagi saya si penderita hypotention ini, serangan sakit kepala akan datang bertubi-tubi. Tapi, malam itu saya biasa aja tuh! Saya tidak sakit kepala sedikitpun.
Ketika saya mencoba memanggil Tuhan dan bertanya, “Tuhan, apa ini?” (Mama, if you read this, thanks for your value, to call Jesus in everytime and every-situation)—barulah saya merasa ketegangan yang tinggi tersebut berubah menjadi sebuah ritme. Ritme yang tidak menentu, kadang pelan, kadang cepat. Ritme yang menggelorakan hati saya (jujur, selama ini saya gak tau apa artinya “menggelorakan hati” tapi setelah saya merasakannya secara langsung, saya baru mengerti), ritme yang menimbulkan kegelisahan dan damai sejahtera secara serempak (nah, lo!). Dan ritme yang berbunyi, bukan hanya bergetar. Akhirnya pada saat itu saya tahu Tuhan sedang berbicara kepada saya, dan bukan bicara sesuatu yang sifatnya main-main.
Memang bukan suara Tuhan secara audio maupun visual (bisa mati saya kalau mengalaminya), tapi—apa yah—susah juga dijelaskan. Pokoknya beda, deh. Sepertinya ada sesuatu yang diambil dari saya, tetapi ada sesuatu yang baru juga yang diberikan. Saya ingat-ingat apa yang hilang, yah—sepertinya yang hilang adalah apa yang saya genggam dengan sangat—amat—teramat kuat dan erat. Saya juga gak tau! Tapi sepertinya ada deh, yang selama ini saya genggam kencang sekali, tiba-tiba genggamannya—saya rasakan—melonggar.
Dan gantinya, sesuatu yang aduh, susah banget dijelaskan dengan kata-kata, tapi manis, segar, sejuk. Apa ya? Bingung saya jadinya. Tetapi sungguh, “sesuatu” tersebut merupakan hal yang indah. Teramat indah. Kalau disuruh tukar segala hal yang ada dalam hidup saya dengan sesuatu itu, mau deh saya. Soalnya indahnya luar biasa!
Sedikit demi sedikit ketegangan saya mereda, menjelang berakhirnya khotbah Pak Mangapul. Berlanjut dengan momen kesukaan saya setiap hari natal, yaitu penyalaan lilin. Menarik, saya dapat pencerahan yang sifatnya agak sedikit ilmiah ketika saya sedang mengamati lilin hijau saya. Mungkin kita jarang memperhatikan. Yang membuat sebuah lilin dikatakan terang sebenarnya hanyalah daerah di sekitar sumbu. Daerah yang sudah terbakar. Sumbu yang telah menghitam. Di sanalah sebenarnya letak api yang menjadi fungsi sebatang lilin. Tanpa sumbu yang terbakar itu, terang api tidak akan pernah ada dan lilin tidak akan jadi berfungsi. Saya mengerti suatu hal yang menarik pada saat itu, bahwa apabila kita ingin memancarkan terang kita bagi lingkungan sekeliling kita, haruslah dimulai dari sumbu yang terbakar itu. Kita harus rela dan siap dibakar seperti sumbu kecil itu, supaya api terang bisa muncul dan berfungsi bagi sekitar kita. Sama seperti ketika kita mendoakan kemajuan bangsa, pemerintah yang takut akan Tuhan, dan sebagainya. Semua dimulai dari diri kita. Maukah kita dibakar bagi kemuliaan Tuhan, itu pertanyaannya. Ketika kita berdoa, “Tuhan, biarlah para aparat negara memiliki hati yang takut akan Tuhan.” Pertanyaannya, Tuhan yang mana? Tuhan atau tuhan? saya lebih suka bila isi doa kita menjadi seperti ini, “Tuhan, biarlah kami para orang Kristen yang hidup di bangsa ini memiliki hati yang takut akan Tuhan dan mencintai kebenaran, supaya kami bisa bangkit dan berkontribusi bagi pembangunan bangsa kami, bagi hormat mulia nama Tuhan.” Puji Tuhan, bangkit memandu bangsa bukan hanya jadi sebuah judul buku, melainkan bisa kita wujud-nyatakan dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari.
Ketika doa syafaat dinaikkan, oh, mungkin kakak pendoa itu memang bertalenta berdoa, saya tidak tahu. Tetapi saya tidak kuat mendengar bait demi bait doa yang dipanjatkannya. Saya seolah tidak berdaya dan hanya bisa mengeluarkan air mata. Oke, saya tidak mau bahas panjang untuk bagian ini. Hanya konsumsi saya dengan orang-orang tertentu saja.
Puncaknya, saat penaikan komitmen di hadapan Tuhan, saya merasa dibukakan lagi sesuatu. Yang terakhir ini, nyata sekali dalam keseharian saya. Menjadi benar sesuai standar kebenaran yang sejati, bukan standar kebenaran yang dikompromi. Saya dibuat Tuhan mengerti, bangkit memandu bangsa dimulai dari tempat dimana kita berada. Saya saat ini siswa. Harusnya kalau saya mau bangkit memandu bangsa, kalau saya mau berperan dalam pembenahan bangsa ke arah yang lebih baik, saya harus berintegritas dan mulainya dari kelas, tempat saya duduk belajar enam jam setiap harinya. Mulai dari kelas. Jujur, saya suka seenaknya di kelas. Tidur kalau tidak ada guru (pernah beberapa kali saya tidur meskipun sudah ada guru). PR, salin punya teman. Makan di kelas, padahal bukan jam istirahat (See again, dengan segala alasan, apabila saya seperti itu, berperan bagi bangsa hanyalah ucapan di bibir belaka). Dan Tuhan bukakan itu buat saya malam itu. Kedengarannya seperti sebuah pertanyaan, kau mau terus begitu? Tuhan, kali ini aku tidak menjawab ya.
Itulah sebabnya, sering saya tidak dapat bernyanyi. Banyak bait-bait lagu yang menggugah, tapi bagi saya bait-bait tersebut menguras kedalaman hati saya. Mengintrospeksi sekaligus membangkitkan saya. Saya sungguh mendapatkan “makanan” malam itu. Aduh, sebenarnya jauh lebih indah, jauh lebih dalam, jauh lebih berharga daripada sekedar makanan. Saya mendapatkan... Tuhan. Tuhan yang berbicara banyak bagi saya. Lebih dari Pak Mangapul Sagala. Lebih dari abang ganteng pemimpin pujian. Lebih dari Mama. Lebih dari buku teologi yang selama ini saya baca. Sebab, Dialah Tuhan, Sang Mahasumber. Sang Mahasempurna. Dialah kepuasan sejatiku, bukan yang lain, entah sepenting apapun itu. Tuhan, terimakasih untuk malam yang indah itu.
            Waktu bersaat teduh seusai menerima berkat, saya teringat Doa Bapa Kami. Bagian dari doa tersebut berbunyi: “Datanglah Kerajaan-Mu, Jadilah Kehendak-Mu”
Datanglah Kerajaan-Mu. Jadilah kehendak-Mu. Sepertinya, saya dijelaskan sesuatu—lagi. Kerajaan Allah itu kekal, dari dahulu, sekarang, sampai selamanya. Mau kita sambut atau tidak, kita terima atau tidak, kita akui atau tidak, Kerajaan Allah tetaplah Kerajaan Allah. Kekal tetaplah kekal. Nyata tetaplah nyata. Namun masalah menyambut Sang Raja, itu pilihan kita. Kalau kata Pak Mangapul, sambut Rajamu, saya harus memiliki pengenalan yang makin mantap akan Dia. Akan Sang Raja. Akan Rajaku. Tetapi harus diingat juga, menjadikan Allah sebagai Raja dalam hidup, konsekuensinya adalah penundukan diri. Segenap rakyat kerajaan harusnya tunduk kepada Rajanya. Yang diperintah tunduk kepada yang memerintah. Kehendak Raja yang jadi kehendakku, bukan kehendakku yang jadi kehendak Raja. Perspektif Raja jadi perspektifku, bukan perspektifku jadi perspektif Raja. Prinsipnya harus benar, tidak terbalik. Yang diperlukan adalah penundukan diri. Tanpa tunduk diri, datanglah Kerajaan-Mu dan jadilah kehendak-Mu hanya akan menjadi bait hafalan umat, bukan bait pernyataan isi hati umat.

Tuhan, terimakasih atas segalanya, dan terimakasih telah mencintaiku.
Tuhan, tolonglah aku mencintai kebenaran-Mu, supaya aku dapat menerangi bangsa ini,
Dengan melakukan apa yang benar di hadapan Engkau.
Tuhan, kuserahkan hidupku kepada-Mu.
Pakai aku jadi apapun yang Engkau kehendaki,
Kehendak-Mu, Tuhan, yang terbaik bagiku,
Karena Engkau yang paling mengerti siapa dan bagaimana aku.
Datanglah kerajaan-Mu, ya Tuhan, dan jadilah kehendak-Mu.
Amin.

0 komentar:

Posting Komentar