Menikmati hidup
sejalan dengan pagi dan petang yang terus berlalu, pada kenyataannya tidak bisa
dikatakan mudah bagiku. Banyak hal yang rasanya tidak kelihatan, bagi orang
lain yang melihat tentulah dapat mengatakan aku
adalah golongan orang yang cukup santai menjalani hidup tanpa beban yang
terlalu berarti untuk dipikul. Namun sesungguhnya siapakah yang bisa mengerti
sepenuhnya akan sesamanya manusia? Tidak ada, selain daripada Sang Pencipta
Manusia itu sendiri. Kadang-kadang muncul keluhan-keluhan dan kegundahan yang
tidak terucapkan, yang bahkan dalam doa sekalipun aku tidak tahu bagaimana
mengungkapkannya kepada Allah. Syukur pada-Nya sebab karena pertolongan Roh
Kudus-Nya aku dimampukan berdoa walaupun hanya dengan menyebut nama Tuhan saja
di sepanjang doaku.
Sesungguhnya suatu
pembelajaran dan kenyataan yang terus digaungkan Tuhan bagiku adalah mengenai
hadirnya waktu di tengah-tengah hidupku. Sungguh dalam beberapa situasi,
seringkali waktu menjadi tembok pemisah antara aku dengan sesuatu yang lain yang
sedang kuhadapi atau kujumpai. Namun di sisi lain waktu menuntunku selangkah
demi selangkah lagi menapaki hidup ini hingga pada akhirnya aku tiba di rumahku
yang kekal. Waktu yang terus berjalan tanpa mau tahu aku sedang merangkak
ataukah berlari. Dia akan tetap berjalan dan akan terus berjalan, sungguh
konsisten akan pribadi dan esensinya.
Waktu tidak dapat
kuatur, harusnya akulah yang menyesuaikan diri supaya aku tidak ditinggalnya.
Waktu tidak bisa menungguku barang sepermili detik bahkan untuk alasan
sedarurat apapun, sehingga demi mencapai yang darurat itu akulah yang
menyesuaikan diri dengan meninggalkan detik-detik lainnya untuk hal-hal atau
alasan-alasan yang tidak sedemikian darurat. Sesungguhnya dalam perjalanan
kedewasaan aku menyadari bahwa waktu bukanlah seteru melainkan mitra sekerja
Allah demi menuntunku dalam keserupaan dengan-Nya. Hanya saja naturku yang
berdosa kerap kali terikut manipulasi si jahat yang membuatku seolah berseteru
dengan waktu, hingga akhirnya membawaku kepada kekecewaan dan keletihan dalam
menjalani hidup.
Saudara, aku
bersyukur malam ini Tuhan menggunakan waktu untuk kembali menuntunku berhenti
sejenak dan merenungkan perjalanan hidupku selama ini. Di waktu-waktu dimana
malam terasa begitu panjang seperti saat ini, seringkali suara lembut Tuhan
terdengar dan membawaku ke dalam perenungan tentang banyak hal. Tentang
keberdosaan, tentang kasih karunia, dan tentang keabadian. Sungguh indah
rasanya menikmati Tuhan dan menikmati waktu secara bersama-sama, lalu mendapati
diriku telah dibawa menyadari suatu titik penting lagi dalam perjalanan
hidupku.
Sesungguhnya waktu
bukanlah seteru. Justru waktu berbicara lebih banyak dari pembicara kenamaan
manapun. Ya, waktu berbicara dalam diamnya, dalam ketidakterlihatannya. Waktu
berbahasa cinta, waktu berbahasa rasa, waktu berbahasa makna. Waktu tidak
menipu melainkan selalu membuka apa yang nyata meskipun tidak selalu manis
terasa. Waktu berjalan ke depan dan ia sebenarnya menginginkanku menatap ke
arah yang sama dengannya. Waktu selalu adil dalam rasa dan tindaknya, namun
keadilan itu tidak melulu memihak kepadaku, melainkan kepada apa yang benar,
sehingga pada umumnya aku merasa ia tidak adil, karena egoismeku semata-mata.
Waktu sering bicara rindu. Ketika hati mulai kelabu dan dibayangi orang-orang
di masa lalu, sesungguhnya waktu sedang menatap ke depan dengan yang di
belakang sebagai bahan bakar yang memicu pijakan ke depan. Waktu berbicara soal
kekuatan dimana aku tidak boleh sama dengan yang dulu. Waktu akan membawaku
kepada dua tuan yang oleh kebanyakan orang sering disebut pilihan, yang kepada
salah satu diantaranya aku harus mengabdi. Waktu taat kepada Sang Penentu.
Ketika dibilang berhenti ataupun melaju, waktu akan melakukannya persis tanpa
mengurangi atau menambahi menurut hematnya sendiri. Waktu mengerti hidup,
tetapi seringkali hidup melawan sang waktu. Hidup yang telah dinyawai oleh si
aku dan kehendaknya kerap kali berkeras pada dirinya sendiri padahal sudah
dinasehati oleh sang waktu.
Bagian-bagian dimana
orang kebanyakan menghujat sang waktu, dan menjadikannya jahat dalam
pemandangan universal, bagiku bisajadi merupakan suatu permainan busuk si
jahat. Waktu yang sejatinya adalah mitra Allah dapat dibuatnya dalam
kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan waktu malah menjadi sang terdakwa
atas segala sesuatu. Tentu dalam hal ini firman Tuhan kembali berlaku, dimana
kita perlu memohon dengan kerendahan hati kepada Tuhan, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh
hati yang bijaksana.” Sesungguhnya setiap kita memerlukan kebijaksanaan
dari Allah untuk dapat mengenal waktu dengan baik dan benar, agar kemudian sang
waktu dapat menjadi mitra kita dalam “....mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya
dan persekutuan dalam penderitaan-Nya....”
Ah, itulah malam ini!
ketika Tuhan dan waktu menyatu menyampaikan sabda penyegar bagi jiwaku.
Sesungguhnya selama aku masih di dalam dunia, memang aku tidak akan pernah bisa
sempurna dalam memahami maupun bermitra dengan sang waktu, karena konsep waktu
dalam alam pikirku sebagai manusia (tambah lagi dengan naturnya yang berdosa)
adalah konsep yang lekang. Dalam kelekangan itu terdapat sebuah hasrat dan
kesukaan untuk membuang yang lama dan memakai yang baru. Jadi dalam pandangan
waktu yang bagaimanapun di dalam dunia ini, tidak ada yang bisa dikatakan baru,
karena segala sesuatu telah menjadi yang lama. Sepersekian detik kemudian,
kembali jadi yang lama, dan begitu seterusnya. Memang kenyataannya demikian
sebab dunia ini pada dasarnya menantikan keabadian, yaitu suatu titik dimana
segala sesuatu tidak lagi lekang melainkan kekal. Pada saat itu genaplah
firman-Nya yang berkata “... Aku
menjadikan segala sesuatu baru!” Pada saat itu sang waktu sudah berada
dalam keasliannya yang dapat dipahami orang. Pemikiran dan penilaian manusia
terhadapnya pun menjadi menyeluruh dan sempurna. Tidak ada lagi kesempatan
sedikitpun bagi si jahat untuk memanipulasi ataupun mendakwa sang waktu. Itulah
yang sesungguhnya kita nantikan, makanya hari lepas hari kita jalani dengan
harapan. Ya, sebagai ciptaan Allah, sejatinya ada satu titik dalam diri kita
yang didesain untuk merindukan kekekalan.
Pada akhirnya, Tuhan
dan waktu memperkenalkanku dengan seorang teman baru. Sesungguhnya ia
senantiasa lalu-lalang dalam hidupku, baik dalam batinku maupun dalam nalarku.
Namun aku hampir-hampir selalu menolaknya. Dan kini Tuhan dan waktu membawaku
kepada suatu titik dimana aku harus menyadari: tidak ada jalan lain bagiku
untuk mengenal Tuhan dan mengenal waktu, selain daripada menjadikan teman baru
ini sebagai sahabatku. Seharusnya dialah yang selalu bersama-sama denganku
dalam menjalani dimensi waktu untuk semakin bersatu dengan Tuhanku. Ya, dia
yang begitu dekat tetapi juga begitu jauh. Dia yang paling sering hadir tetapi
juga paling sering kutolak. Dia yang pribadinya selalu membawaku lebih jatuh
cinta kepada Penciptaku dan kepada hidup yang telah diberikan-Nya bagiku. Dia
yang menuntunku untuk menikmati segala sesuatu bahkan yang pahit sekalipun. Dia
yang selalu memberikan kelegaan dan kesegaran setiap kali ada momen
perjumpaanku dengannya. Namanya syukur.
Hanya dengan bersyukur, ya Tuhan,
Aku dapat mengenal Engkau dan menikmati hidup dalam
ketidak-tahuanku akan apa di depan.
Hanya dengan bersyukur, ya Tuhan,
Aku dapat menyesuaikan diri dengan waktu dan saling
bermitra untuk semakin mengenal-Mu.
Hanya dengan bersyukur, ya Tuhan,
Aku dapat menikmati apa yang lekang dalam penantian
menyambut apa yang kekal.
Tetapi, ya Tuhan,
Dalam keberdosaan aku sungguh tidak punya kemampuan untuk
bersyukur.
Untuk itu, ya Tuhan,
Berbelas-kasihlah untuk menganugerahkan kepadaku hidup
yang bersyukur,
Supaya aku dapat mensyukuri hidup.
Terimakasih, Tuhan.
Amin.
0 komentar:
Posting Komentar