Pages

Sabtu, 30 Juni 2012

Tuhan, Waktu, dan Syukur


Menikmati hidup sejalan dengan pagi dan petang yang terus berlalu, pada kenyataannya tidak bisa dikatakan mudah bagiku. Banyak hal yang rasanya tidak kelihatan, bagi orang lain yang melihat tentulah dapat mengatakan aku  adalah golongan orang yang cukup santai menjalani hidup tanpa beban yang terlalu berarti untuk dipikul. Namun sesungguhnya siapakah yang bisa mengerti sepenuhnya akan sesamanya manusia? Tidak ada, selain daripada Sang Pencipta Manusia itu sendiri. Kadang-kadang muncul keluhan-keluhan dan kegundahan yang tidak terucapkan, yang bahkan dalam doa sekalipun aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya kepada Allah. Syukur pada-Nya sebab karena pertolongan Roh Kudus-Nya aku dimampukan berdoa walaupun hanya dengan menyebut nama Tuhan saja di sepanjang doaku.
Sesungguhnya suatu pembelajaran dan kenyataan yang terus digaungkan Tuhan bagiku adalah mengenai hadirnya waktu di tengah-tengah hidupku. Sungguh dalam beberapa situasi, seringkali waktu menjadi tembok pemisah antara aku dengan sesuatu yang lain yang sedang kuhadapi atau kujumpai. Namun di sisi lain waktu menuntunku selangkah demi selangkah lagi menapaki hidup ini hingga pada akhirnya aku tiba di rumahku yang kekal. Waktu yang terus berjalan tanpa mau tahu aku sedang merangkak ataukah berlari. Dia akan tetap berjalan dan akan terus berjalan, sungguh konsisten akan pribadi dan esensinya.
Waktu tidak dapat kuatur, harusnya akulah yang menyesuaikan diri supaya aku tidak ditinggalnya. Waktu tidak bisa menungguku barang sepermili detik bahkan untuk alasan sedarurat apapun, sehingga demi mencapai yang darurat itu akulah yang menyesuaikan diri dengan meninggalkan detik-detik lainnya untuk hal-hal atau alasan-alasan yang tidak sedemikian darurat. Sesungguhnya dalam perjalanan kedewasaan aku menyadari bahwa waktu bukanlah seteru melainkan mitra sekerja Allah demi menuntunku dalam keserupaan dengan-Nya. Hanya saja naturku yang berdosa kerap kali terikut manipulasi si jahat yang membuatku seolah berseteru dengan waktu, hingga akhirnya membawaku kepada kekecewaan dan keletihan dalam menjalani hidup.
Saudara, aku bersyukur malam ini Tuhan menggunakan waktu untuk kembali menuntunku berhenti sejenak dan merenungkan perjalanan hidupku selama ini. Di waktu-waktu dimana malam terasa begitu panjang seperti saat ini, seringkali suara lembut Tuhan terdengar dan membawaku ke dalam perenungan tentang banyak hal. Tentang keberdosaan, tentang kasih karunia, dan tentang keabadian. Sungguh indah rasanya menikmati Tuhan dan menikmati waktu secara bersama-sama, lalu mendapati diriku telah dibawa menyadari suatu titik penting lagi dalam perjalanan hidupku.
Sesungguhnya waktu bukanlah seteru. Justru waktu berbicara lebih banyak dari pembicara kenamaan manapun. Ya, waktu berbicara dalam diamnya, dalam ketidakterlihatannya. Waktu berbahasa cinta, waktu berbahasa rasa, waktu berbahasa makna. Waktu tidak menipu melainkan selalu membuka apa yang nyata meskipun tidak selalu manis terasa. Waktu berjalan ke depan dan ia sebenarnya menginginkanku menatap ke arah yang sama dengannya. Waktu selalu adil dalam rasa dan tindaknya, namun keadilan itu tidak melulu memihak kepadaku, melainkan kepada apa yang benar, sehingga pada umumnya aku merasa ia tidak adil, karena egoismeku semata-mata. Waktu sering bicara rindu. Ketika hati mulai kelabu dan dibayangi orang-orang di masa lalu, sesungguhnya waktu sedang menatap ke depan dengan yang di belakang sebagai bahan bakar yang memicu pijakan ke depan. Waktu berbicara soal kekuatan dimana aku tidak boleh sama dengan yang dulu. Waktu akan membawaku kepada dua tuan yang oleh kebanyakan orang sering disebut pilihan, yang kepada salah satu diantaranya aku harus mengabdi. Waktu taat kepada Sang Penentu. Ketika dibilang berhenti ataupun melaju, waktu akan melakukannya persis tanpa mengurangi atau menambahi menurut hematnya sendiri. Waktu mengerti hidup, tetapi seringkali hidup melawan sang waktu. Hidup yang telah dinyawai oleh si aku dan kehendaknya kerap kali berkeras pada dirinya sendiri padahal sudah dinasehati oleh sang waktu.
Bagian-bagian dimana orang kebanyakan menghujat sang waktu, dan menjadikannya jahat dalam pemandangan universal, bagiku bisajadi merupakan suatu permainan busuk si jahat. Waktu yang sejatinya adalah mitra Allah dapat dibuatnya dalam kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan waktu malah menjadi sang terdakwa atas segala sesuatu. Tentu dalam hal ini firman Tuhan kembali berlaku, dimana kita perlu memohon dengan kerendahan hati kepada Tuhan, “ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Sesungguhnya setiap kita memerlukan kebijaksanaan dari Allah untuk dapat mengenal waktu dengan baik dan benar, agar kemudian sang waktu dapat menjadi mitra kita dalam “....mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya....”
Ah, itulah malam ini! ketika Tuhan dan waktu menyatu menyampaikan sabda penyegar bagi jiwaku. Sesungguhnya selama aku masih di dalam dunia, memang aku tidak akan pernah bisa sempurna dalam memahami maupun bermitra dengan sang waktu, karena konsep waktu dalam alam pikirku sebagai manusia (tambah lagi dengan naturnya yang berdosa) adalah konsep yang lekang. Dalam kelekangan itu terdapat sebuah hasrat dan kesukaan untuk membuang yang lama dan memakai yang baru. Jadi dalam pandangan waktu yang bagaimanapun di dalam dunia ini, tidak ada yang bisa dikatakan baru, karena segala sesuatu telah menjadi yang lama. Sepersekian detik kemudian, kembali jadi yang lama, dan begitu seterusnya. Memang kenyataannya demikian sebab dunia ini pada dasarnya menantikan keabadian, yaitu suatu titik dimana segala sesuatu tidak lagi lekang melainkan kekal. Pada saat itu genaplah firman-Nya yang berkata “... Aku menjadikan segala sesuatu baru!” Pada saat itu sang waktu sudah berada dalam keasliannya yang dapat dipahami orang. Pemikiran dan penilaian manusia terhadapnya pun menjadi menyeluruh dan sempurna. Tidak ada lagi kesempatan sedikitpun bagi si jahat untuk memanipulasi ataupun mendakwa sang waktu. Itulah yang sesungguhnya kita nantikan, makanya hari lepas hari kita jalani dengan harapan. Ya, sebagai ciptaan Allah, sejatinya ada satu titik dalam diri kita yang didesain untuk merindukan kekekalan.
Pada akhirnya, Tuhan dan waktu memperkenalkanku dengan seorang teman baru. Sesungguhnya ia senantiasa lalu-lalang dalam hidupku, baik dalam batinku maupun dalam nalarku. Namun aku hampir-hampir selalu menolaknya. Dan kini Tuhan dan waktu membawaku kepada suatu titik dimana aku harus menyadari: tidak ada jalan lain bagiku untuk mengenal Tuhan dan mengenal waktu, selain daripada menjadikan teman baru ini sebagai sahabatku. Seharusnya dialah yang selalu bersama-sama denganku dalam menjalani dimensi waktu untuk semakin bersatu dengan Tuhanku. Ya, dia yang begitu dekat tetapi juga begitu jauh. Dia yang paling sering hadir tetapi juga paling sering kutolak. Dia yang pribadinya selalu membawaku lebih jatuh cinta kepada Penciptaku dan kepada hidup yang telah diberikan-Nya bagiku. Dia yang menuntunku untuk menikmati segala sesuatu bahkan yang pahit sekalipun. Dia yang selalu memberikan kelegaan dan kesegaran setiap kali ada momen perjumpaanku dengannya. Namanya syukur.

Hanya dengan bersyukur, ya Tuhan,
Aku dapat mengenal Engkau dan menikmati hidup dalam ketidak-tahuanku akan apa di depan.
Hanya dengan bersyukur, ya Tuhan,
Aku dapat menyesuaikan diri dengan waktu dan saling bermitra untuk semakin mengenal-Mu.
Hanya dengan bersyukur, ya Tuhan,
Aku dapat menikmati apa yang lekang dalam penantian menyambut apa yang kekal.
Tetapi, ya Tuhan,
Dalam keberdosaan aku sungguh tidak punya kemampuan untuk bersyukur.
Untuk itu, ya Tuhan,
Berbelas-kasihlah untuk menganugerahkan kepadaku hidup yang bersyukur,
Supaya aku dapat mensyukuri hidup.
Terimakasih, Tuhan.
Amin.

0 komentar:

Posting Komentar