Pages

Sabtu, 16 Juni 2012

Ketika Sekali Lagi Bergaung



                Hari ini sungguh bukan suatu kebetulan bagi saya, mendapat kesempatan mengikuti Plennary Course Youth Task Force di SAAT Ministry Center, APL Tower Central Park Jakarta. Beberapa bulan ini kami memang dipersiapkan untuk mengikuti Youth Task Force, suatu Gugus Tugas Pelayanan Pemuda Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia, hasil kerjasama Terang Garam PGTI, Habitat for Humanity Indonesia, dan tentunya SAAT Ministry Center.
                Suatu kisah yang menggugah hati saya adalah kisah tentang William Bourden. William Bourden adalah seorang anak dari keluarga yang sangat kaya, hingga pada saat kelulusannya dari High School, orangtuanya menghadiahinya kesempatan pergi keliling dunia. Si enam belas tahun Bourden yang sehari-harinya hidup dalam kekayaan dan kenyamanan berlimpah tersentuh melihat begitu banyak kondisi orang diluar dunianya. Ia bahkan mendengar panggilan Tuhan jelas dalam dirinya untuk menyerahkan dirinya membagikan kasih Tuhan. Menjawab panggilan itu, si enam belas tahun Bourden menulis komitmen di halaman belakang Alkitabnya, yang berbunyi: “No Reserve”
                Tidak ada yang tersisa bagi dirinya. Tidak ada bagian yang menjadi miliknya, sekecil apapun bagian itu. Tidak ada bagian yang “disisihkan” menjadi miliknya. Sekali menyerahkan diri, semua milik Allah. Hidup Bourden saat itu, segala sesuatu tentang Allah.
                Karena kejeniusan dan didukung juga dengan kemampuan finansial, Bourden melanjut studi ke Yale University, dengan setiap jejak yang ditorehkannya di Yale adalah untuk Tuhan. Ia memimpin kelompok kecil dan kegiatan penginjilan di dalam dan luar kampus. Lulus dari Yale, Bourden dialiri tawaran kerja dengan posisi yang begitu mantap di sejumlah perusahaan terkemuka. Namun kembali ia mengingat komitmennya akan panggilan Tuhan, lantas ia menolak semua tawaran tersebut dan  menuliskan komitmen keduanya di halaman Alkitab bagian belakang, bunyinya: “No Retreats”
                Bagi Bourden, si lulusan Yale, sekali menyerahkan diri menjadi milik Yesus, tetap milik Yesus. Tidak ada kesempatan dan tidak ada alasan untuk menarik komitmennya, atau berubah pikiran. Padahal bisa saja baginya tetap memuliakan Tuhan lewat pekerjaannya. Tetapi bagi Bourden, sekali untuk Tuhan, tetap selamanya seluruh hidupnya akan menjadi milik Tuhan.
                Bourden amat meyakini panggilannya menginjili satu suku di China yang seluruhnya beragama Muslim. Untuk itu Bourden masuk ke Sekolah Teologi. Lulus dari Sekolah Teologi, merasa perlu belajar bahasa penduduk setempat yang akan dilayaninya, Bourden lantas pergi ke Mesir untuk belajar bahasa dan budaya. Di Mesir, Bourden terserang penyakit, dan ia sangat bergumul untuk kelemahan fisiknya ini. Ternyata, tanpa akhir yang manis, Bourden meninggal dunia di Mesir pada usia dua puluh lima tahun, dan belum sempat sekali-kalipun menginjakkan kakinya di China.
                Dalam upacara kedukaan orangtua Bourden menemukan Alkitab anaknya. Orangtua Bourden lantas membuka halaman demi halaman buku yang sangat dicintai anaknya itu, hingga di halaman belakang Alkitab Bourden, orangtuanya menemukan komitmen ketiga yang ditulis Bourden: “No Regret”
                Tidak ada penyesalan. Tidak ada penyesalan bagi Bourden, si jenius kaya yang telah menyerahkan diri bagi Kristus. Meskipun akhir hidupnya tidak indah, meskipun ia belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ke lading dimana Tuhan memanggilnya, ia tidak menyesal. William Bourden menuliskan jejaknya dengan jelas bagi kekristenan masa kini: tidak menyisakan apapun bagi diri sendiri, tidak menarik kembali komitmen yang telah dibuat, dan tidak pernah menyesal akan apapun yang telah dilakukan bagi Tuhan.
                Hari ini, secara khusus panggilan pelayanan itu kembali bergaung dalam hati dan telinga saya, dari kisah William Bourden yang dituturkan oleh seorang penginjil muda. Bourden, tanpa akhir yang indah, bahkan belum sempat menginjak ladang pelayanannya, mati di dalam Tuhan, dengan tidak ada penyesalan.
                Hari ini, saya si tujuh belas tahun Carmia yang masih bersemangat menyiapkan diri menempuh pendidikan di jalur teologi untuk memperlengkapi komitmen pelayanan sepenuh waktu, membayangkan bagaimana kalau sebelum lulus dari sekolah teologi, atau bahkan belum sempat masuk sekolah teologi, saya mati. Entah terserang penyakit seperti Bourden atau kejadian spektakuler seperti misalnya tersambar opelet, atau hanya mati dalam diam di pembaringan ketika menanti esok pagi. Bagaimana misalnya ketika saya mati bahkan sebelum saya diutus melayani, seperti Bourden.
                Hari ini, ketika sekali lagi bergaung suara Tuhan memanggil saya menyerahkan diri bagi-Nya. Kini tidak lagi pakai atribut nangis-nangis atau sok tahan-tahan diri. Sejenak terlintas ketika saya berdoa. Ketika sampai pada kata “menyerahkan diri” dalam doa saya, tertegun saya dibuat Tuhan. Memangnya siapa saya sampai harus serah-terima diri dengan Tuhan? Diri ini sepenuhnya milik Tuhan. Bukan lagi main serah-serahan sama Tuhan, tapi memang sudah sewajarnya sepenuh hati, sepenuh waktu, sepenuh diri saya dimiliki oleh Tuhan.
                Hari ini, ketika sekali lagi komitmen itu harus saya buat. Tanpa mata yang basah lagi namun dengan tatapan bersinar yang mantap. Tanpa berat hati lagi melainkan sungguh suatu kebulatan tekad karena hati yang hancur merenungkan anugerah Allah. Tanpa negosiasi palsu yang berakar dari kepentingan diri sendiri, melainkan akomodasi diri untuk menjadi seperti apa yang diinginkan-Nya saya jadi. Tanpa ingin diri saya dimenangkan dalam pergumulan ini, tetapi biar kehendak-Nya yang jadi.
                Hari ini, ketika saya mau, dan justru saya yang meminta Dia mengambil saya melayani-Nya. Hari ini ketika sekali lagi bergaung, saya berdoa supaya saya dimampukan-Nya tetap teguh dalam komitmen saya mengabdikan diri bagi-Nya, meskipun mungkin kapan saja saya akan mati.

Hari ini, ketika Tuhanku berbicara lagi, 
Hari ini, ketika aku menghadap-Nya dengan keyakinan sepenuh hati.

Kumemilih Yesus bukan harta
Dan Dia milikku melebihi semua
Kumemilih Yesus bukan lading
Biar kasih-Nya yang menuntunku
Ku tak mau jadi raja penguasa
Namun dibelenggu dosa
Kumemilih Yesus lebih indah dari semuanya!
(Kumemilih Yesus—KPPK 325)

0 komentar:

Posting Komentar