Hari
ini sungguh bukan suatu kebetulan bagi saya, mendapat kesempatan mengikuti
Plennary Course Youth Task Force di SAAT Ministry Center, APL Tower Central
Park Jakarta. Beberapa bulan ini kami memang dipersiapkan untuk mengikuti Youth
Task Force, suatu Gugus Tugas Pelayanan Pemuda Gereja-Gereja Tionghoa di
Indonesia, hasil kerjasama Terang Garam PGTI, Habitat for Humanity Indonesia,
dan tentunya SAAT Ministry Center.
Suatu
kisah yang menggugah hati saya adalah kisah tentang William Bourden. William
Bourden adalah seorang anak dari keluarga yang sangat kaya, hingga pada saat
kelulusannya dari High School, orangtuanya menghadiahinya kesempatan pergi
keliling dunia. Si enam belas tahun Bourden yang sehari-harinya hidup dalam
kekayaan dan kenyamanan berlimpah tersentuh melihat begitu banyak kondisi orang
diluar dunianya. Ia bahkan mendengar panggilan Tuhan jelas dalam dirinya untuk
menyerahkan dirinya membagikan kasih Tuhan. Menjawab panggilan itu, si enam
belas tahun Bourden menulis komitmen di halaman belakang Alkitabnya, yang
berbunyi: “No Reserve”
Tidak
ada yang tersisa bagi dirinya. Tidak ada bagian yang menjadi miliknya, sekecil
apapun bagian itu. Tidak ada bagian yang “disisihkan” menjadi miliknya. Sekali
menyerahkan diri, semua milik Allah. Hidup Bourden saat itu, segala sesuatu
tentang Allah.
Karena
kejeniusan dan didukung juga dengan kemampuan finansial, Bourden melanjut studi
ke Yale University, dengan setiap jejak yang ditorehkannya di Yale adalah untuk
Tuhan. Ia memimpin kelompok kecil dan kegiatan penginjilan di dalam dan luar
kampus. Lulus dari Yale, Bourden dialiri tawaran kerja dengan posisi yang
begitu mantap di sejumlah perusahaan terkemuka. Namun kembali ia mengingat
komitmennya akan panggilan Tuhan, lantas ia menolak semua tawaran tersebut
dan menuliskan komitmen keduanya di
halaman Alkitab bagian belakang, bunyinya: “No Retreats”
Bagi
Bourden, si lulusan Yale, sekali menyerahkan diri menjadi milik Yesus, tetap
milik Yesus. Tidak ada kesempatan dan tidak ada alasan untuk menarik
komitmennya, atau berubah pikiran. Padahal bisa saja baginya tetap memuliakan
Tuhan lewat pekerjaannya. Tetapi bagi Bourden, sekali untuk Tuhan, tetap
selamanya seluruh hidupnya akan menjadi milik Tuhan.
Bourden
amat meyakini panggilannya menginjili satu suku di China yang seluruhnya
beragama Muslim. Untuk itu Bourden masuk ke Sekolah Teologi. Lulus dari Sekolah
Teologi, merasa perlu belajar bahasa penduduk setempat yang akan dilayaninya,
Bourden lantas pergi ke Mesir untuk belajar bahasa dan budaya. Di Mesir,
Bourden terserang penyakit, dan ia sangat bergumul untuk kelemahan fisiknya
ini. Ternyata, tanpa akhir yang manis, Bourden meninggal dunia di Mesir pada
usia dua puluh lima tahun, dan belum sempat sekali-kalipun menginjakkan kakinya
di China.
Dalam
upacara kedukaan orangtua Bourden menemukan Alkitab anaknya. Orangtua Bourden
lantas membuka halaman demi halaman buku yang sangat dicintai anaknya itu,
hingga di halaman belakang Alkitab Bourden, orangtuanya menemukan komitmen ketiga
yang ditulis Bourden: “No Regret”
Tidak
ada penyesalan. Tidak ada penyesalan bagi Bourden, si jenius kaya yang telah
menyerahkan diri bagi Kristus. Meskipun akhir hidupnya tidak indah, meskipun ia
belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ke lading dimana Tuhan memanggilnya,
ia tidak menyesal. William Bourden menuliskan jejaknya dengan jelas bagi
kekristenan masa kini: tidak menyisakan apapun bagi diri sendiri, tidak menarik
kembali komitmen yang telah dibuat, dan tidak pernah menyesal akan apapun yang
telah dilakukan bagi Tuhan.
Hari
ini, secara khusus panggilan pelayanan itu kembali bergaung dalam hati dan
telinga saya, dari kisah William Bourden yang dituturkan oleh seorang penginjil
muda. Bourden, tanpa akhir yang indah, bahkan belum sempat menginjak ladang
pelayanannya, mati di dalam Tuhan, dengan tidak ada penyesalan.
Hari
ini, saya si tujuh belas tahun Carmia yang masih bersemangat menyiapkan diri
menempuh pendidikan di jalur teologi untuk memperlengkapi komitmen pelayanan
sepenuh waktu, membayangkan bagaimana kalau sebelum lulus dari sekolah teologi,
atau bahkan belum sempat masuk sekolah teologi, saya mati. Entah terserang
penyakit seperti Bourden atau kejadian spektakuler seperti misalnya tersambar
opelet, atau hanya mati dalam diam di pembaringan ketika menanti esok pagi.
Bagaimana misalnya ketika saya mati bahkan sebelum saya diutus melayani,
seperti Bourden.
Hari
ini, ketika sekali lagi bergaung suara Tuhan memanggil saya menyerahkan diri
bagi-Nya. Kini tidak lagi pakai atribut nangis-nangis atau sok tahan-tahan
diri. Sejenak terlintas ketika saya berdoa. Ketika sampai pada kata
“menyerahkan diri” dalam doa saya, tertegun saya dibuat Tuhan. Memangnya siapa
saya sampai harus serah-terima diri dengan Tuhan? Diri ini sepenuhnya milik
Tuhan. Bukan lagi main serah-serahan sama Tuhan, tapi memang sudah sewajarnya
sepenuh hati, sepenuh waktu, sepenuh diri saya dimiliki oleh Tuhan.
Hari
ini, ketika sekali lagi komitmen itu harus saya buat. Tanpa mata yang basah
lagi namun dengan tatapan bersinar yang mantap. Tanpa berat hati lagi melainkan
sungguh suatu kebulatan tekad karena hati yang hancur merenungkan anugerah
Allah. Tanpa negosiasi palsu yang berakar dari kepentingan diri sendiri,
melainkan akomodasi diri untuk menjadi seperti apa yang diinginkan-Nya saya
jadi. Tanpa ingin diri saya dimenangkan dalam pergumulan ini, tetapi biar
kehendak-Nya yang jadi.
Hari
ini, ketika saya mau, dan justru saya yang meminta Dia mengambil saya
melayani-Nya. Hari ini ketika sekali lagi bergaung, saya berdoa supaya saya
dimampukan-Nya tetap teguh dalam komitmen saya mengabdikan diri bagi-Nya,
meskipun mungkin kapan saja saya akan mati.
Hari ini, ketika Tuhanku berbicara
lagi,
Hari ini, ketika aku menghadap-Nya dengan
keyakinan sepenuh hati.
Kumemilih Yesus bukan
harta
Dan Dia milikku
melebihi semua
Kumemilih Yesus bukan
lading
Biar kasih-Nya yang
menuntunku
Ku tak mau jadi raja
penguasa
Namun dibelenggu dosa
Kumemilih Yesus lebih
indah dari semuanya!
(Kumemilih Yesus—KPPK
325)
0 komentar:
Posting Komentar