Hari itu 5 April 2012, semalam
sebelum Jumat Agung. Saya akan melayani dalam Ibadah Raya Jumat Agung di gereja
saya keesokan harinya, dengan memakai setelan jas lengkap. Namun sepatu yang
ada di rumah saya yang di Mangga Besar hanyalah sepatu kets berwarna biru tua
dan sepatu sekolah warna hitam. Rasa-rasanya tidak akan cocok mengenakan blazer
dipadu rok hitam, tetapi bawahnya pakai sepatu bola. Lantas saya teringat,
sepasang flat shoes saya dititip di
Sekretariat Paksu tempat mama melayani karena waktu itu saya pernah lecet saat
mengenakannya. Saya lantas menghubungi tulang Franky (penghuni setia
Sekretariat Paksu) untuk meminta kesediannya mengantarkan sepatu saya ke daerah
kantor magang saya. Kebetulan, tulang itu sedang membutuhkan ransel baru, jadi
kami sekalian mencari ransel tulang di Pasar Senen.
Setelah menemukan tas yang
dinilai cocok melalui proses penawaran tanpa ampun, kami mencari menu santap
malam. Dari sekian banyak pilihan yang ada, destinasi terakhir adalah favorit
saya, masakan padang. Sambil bergumul dengan ayam bakar kesukaan saya, kami
mulai mempercakapkan berbagai hal, hingga berujung kepada pembahasan mengenai
studi lanjut saya.
“Jadi gimana Mia, kau yakin
masuk ke sekolah pendeta itu?”
“Untuk sekarang sih aku belum
ada pilihan lain, tulang.”
“Sebenarnya itu apa sih,
cita-citamu, panggilan, atau apa? Kalau kau masuk situ harus benar-benar
panggilan lho, kalau tidak susah nanti, kau pelayanan malah bisa jadi
komersil,”
“Sebenarnya bukan cita-citaku
tulang. Aku merasa terpanggil dan sudah mendoakannya sejak kelas sembilan.
Maunya sih jadi profesional tulang, tapi aku ngeliatnya dari kebutuhan. Dunia
ini membutuhkan orang-orang yang memikirkan hal-hal surgawi, tapi kakinya tetap
menginjak bumi. Karena sekarang ini banyak orang cuma bisa bicara mimbar,
tulang”
“Yah kalau begitu pelayanan
sambil profesional bisa juga dong?”
“Ya memang bisa sih tulang, tapi
menurutku ada beberapa orang yang dikhususkan untuk melayani sepenuh waktu,
karena gak mungkin semuanya pelayanan profesional, tulang.”
“Tapi kau pikirkan dulu lah,
Butet. Jangan sampai menyesal kau memutuskan itu.”
“Kurasa aku akan lebih menyesal
kalau menolak, tulang. Karena aku sudah merasakan pergumulannya.”
Deg.
Ngomong apa sih lo, saya
membatin.
Saya heran dengan yang barusan
saya ucapkan. Terdengarnya begitu berani, begitu mantap, dan
begitu—uppps—rohani. Padahal saya nggak segitunya. Bahkan pribadi saya jauh,
jauh, jauh lebih bobrok dari ucapan saya itu.
“Ya baguslah, kalau kau memang
sudah yakin. Tapi aku tetap nggak yakin kau kuat di asrama itu, Butet. Empat
tahun itu lama lho,”
“Kurasa kalau belajar
sungguh-sungguh pasti juga terasa cepat berlalu, tulang.”
“Jangan salah kau. Disana nanti
nggak ada temanmu, nggak ada keluargamu, nggak ada mamakmu, memang bisanya kau?
Kadang-kadang kita nggak mengenal diri kita sendiri lho,”
“Mmmm... Aku yakin sih tulang,
kalau Tuhan sudah memanggil, Dia pasti memampukan. Tapi kalaupun Dia tidak
mampukan, ya itulah salibku tulang.”
Bah, salah omong lagi nih. Saya
rasa penakut seperti saya tidak sepantasnya berucap demikian.
“Ya udah, baguslah itu. Kita
doakanlah ya Butet,”
“Iya tulang.”
Sepulang dari Pasar Senen—dari
perjalanan hingga tiba di rumah—pembicaraan kami ini terus menjadi perenungan
bagi saya. Saya ini kok sepertinya tidak tahu diri, ya. Sok jago saya
omong-omong seperti itu. Padahal saya ini lemah sekali. Bagaimana mungkin saya
sanggup hidup sendiri di kota orang?
Bersyukur, sekali lagi saya (dan
saya harapkan para pembaca juga) diajar oleh Tuhan. itulah panggilan, dan untuk
menggenapi panggilan itu ada harga yang harus dibayar. Kalau motivasi saya
adalah menjawab kebutuhan dunia akan orang-orang yang berpikiran surgawi tetapi
berpijakan bumi, ya pengorbananlah jawabannya. Selama kaki manusia masih
menginjak bumi—manusia manapun—tidak akan pernah terlepas dari kesukaran dan
penderitaan. Mazmur 90:10 mencatat demikian. Ya, masa hidup manusia tujuh puluh
tahun, sekuat-kuatnya delapan puluh tahun, dan kebahagiaannya adalah kesukaran
dan penderitaan.
Inilah konsekuensi logis yang
akan diterima bila seseorang memilih hidup melayani. Selama ada hidup pasti
harus melayani, dan selama ada pelayanan pasti harus menderita. Itulah
pelayanan, itulah salib. Ah, ini dalam banget! Sebenarnya saya ini orang yang
paling tidak suka menderita. Saya paling nggak mau susah, paling nggak mau
repot. Tetapi kenyataannya saya harus menempuh dunia penuh penderitaan sebentar
lagi. Jelas ketidaksinkronan ini membuat saya berpikir sekali lagi untuk
mundur. Saya rasanya bukan orang yang tepat untuk panggilan-Mu, Tuhan. Itu
terlalu mulia bagiku, sedangkan aku terlalu tidak layak untuk itu. Tuhan,
pakailah mereka yang lebih kuat daripadaku.
Dalam salah satu kesempatan
ngobrol dengan Mama, saya mendapat jawaban pertama. Saya bilang sama mama kalau
saya nggak mau memilih sekolah teologia lagi. Yang pertama ditanyakan tentu apa
alasannya, dan saya bilang saya nggak mampu. Saya takut apa yang saya omongkan
gak bisa saya genapi dalam hidup sehari-hari. Saya takut dengan mental dan
psikis yang masih seperti ini, saya tidak akan menjadi pelayan Tuhan yang
efektif. Lantas mama bilang, kalau kau di istana saja sudah kotor, apalagi kau
mau ke lumpur, malah lebih kotor lagi. Maksudnya, kalau saya di sekolah teologia
saja sudah bobrok, sudah berdosa, apalagi saya lepas dari pelayanan, tentu bisa
jadi lebih bobrok lagi karena gak ada batasan-batasannya disana.
Setidak-tidaknya, kalau bobrok di sekolah teologia, ada dosen dan teman-teman
yang akan ambil andil dalam pembersihan saya atas kebobrokan dan tentunya
membentuk saya semakin serupa Kristus.
Jawaban kedua, saya dapati dalam
salah satu perenungan saya. Efesus 4:1 menasehatkan orang-orang yang telah
dipanggil untuk hidup berpadanan dengan panggilan itu. Inilah kekuatan bagi
saya. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri, masih ada waktu untuk berlatih
kuat dalam penderitaan. Meskipun tidak ada penderitaan yang bisa menjadi
simulator untuk penderitaan berikutnya karena level terus naik, minimal sikap
hati dan cara pandang saya dalam mengelola masalah akan terus diperbaharui dan
disempurnakan di dalam Dia.
Pada akhirnya tetap ada
pengharapan, bahwa “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:13) tetapi juga bukan merupakan ancaman untuk
menuduh Allah tidak memenuhi keinginan saya, sebab iman yang melandasi motivasi
pelayanan dan memikul salib itu terlebih dahulu harus dibenarkan, seperti kata
Sadrakh, Mesakh, dan Abednego: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan
kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan
dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku
mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan
menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” Bagi saya, mungkin nats
tersebut hampir sama bunyinya dengan, “Jika Tuhan yang telah memanggilku
sanggup menuntunku dengan melancarkan perjalananku di sekolah teologia dan di
ladang pelayanan kelak, maka Ia akan melakukannya. Namun jika sekali-kali Ia
tidak melancarkan jalanku, melainkan penderitaan yang harus kutempuh,
sekali-kali aku tidak akan menyingkirkan diri dari ladang pelayanan itu.”
Oh Tuhanku, tolonglah aku untuk tidak hanya berkata, melainkan juga
percaya. Dan tidak hanya percaya, melainkan juga memperjuangkan dan
menggenapinya. Soli Deo Gloria!
Ku rela segenap hati,
Memikul salibku
T’rima cawan pahit serta-Mu,
Pimpin ke Kalvari!
(Pimpin ke Kalvari—KPPK)
0 komentar:
Posting Komentar