Pages

Jumat, 08 Juni 2012

Sekali Lagi Tentang Sebuah Motivasi: Salib

                Ini kisah sekuel dari tulisan yang pernah saya buat sebelumnya, yang berjudul “Pada Akhirnya: Tentang Sebuah Motivasi”. Agak aneh karena tulisan pertama sudah berjudul pada akhirnya, tetapi ternyata masih berlanjut lagi. Yuk, kita mulai
                Hari itu 5 April 2012, semalam sebelum Jumat Agung. Saya akan melayani dalam Ibadah Raya Jumat Agung di gereja saya keesokan harinya, dengan memakai setelan jas lengkap. Namun sepatu yang ada di rumah saya yang di Mangga Besar hanyalah sepatu kets berwarna biru tua dan sepatu sekolah warna hitam. Rasa-rasanya tidak akan cocok mengenakan blazer dipadu rok hitam, tetapi bawahnya pakai sepatu bola. Lantas saya teringat, sepasang flat shoes saya dititip di Sekretariat Paksu tempat mama melayani karena waktu itu saya pernah lecet saat mengenakannya. Saya lantas menghubungi tulang Franky (penghuni setia Sekretariat Paksu) untuk meminta kesediannya mengantarkan sepatu saya ke daerah kantor magang saya. Kebetulan, tulang itu sedang membutuhkan ransel baru, jadi kami sekalian mencari ransel tulang di Pasar Senen.
                Setelah menemukan tas yang dinilai cocok melalui proses penawaran tanpa ampun, kami mencari menu santap malam. Dari sekian banyak pilihan yang ada, destinasi terakhir adalah favorit saya, masakan padang. Sambil bergumul dengan ayam bakar kesukaan saya, kami mulai mempercakapkan berbagai hal, hingga berujung kepada pembahasan mengenai studi lanjut saya.
                “Jadi gimana Mia, kau yakin masuk ke sekolah pendeta itu?”
                “Untuk sekarang sih aku belum ada pilihan lain, tulang.”
                “Sebenarnya itu apa sih, cita-citamu, panggilan, atau apa? Kalau kau masuk situ harus benar-benar panggilan lho, kalau tidak susah nanti, kau pelayanan malah bisa jadi komersil,”
                “Sebenarnya bukan cita-citaku tulang. Aku merasa terpanggil dan sudah mendoakannya sejak kelas sembilan. Maunya sih jadi profesional tulang, tapi aku ngeliatnya dari kebutuhan. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang memikirkan hal-hal surgawi, tapi kakinya tetap menginjak bumi. Karena sekarang ini banyak orang cuma bisa bicara mimbar, tulang”
                “Yah kalau begitu pelayanan sambil profesional bisa juga dong?”
                “Ya memang bisa sih tulang, tapi menurutku ada beberapa orang yang dikhususkan untuk melayani sepenuh waktu, karena gak mungkin semuanya pelayanan profesional, tulang.”
                “Tapi kau pikirkan dulu lah, Butet. Jangan sampai menyesal kau memutuskan itu.”
                “Kurasa aku akan lebih menyesal kalau menolak, tulang. Karena aku sudah merasakan pergumulannya.”
                Deg.
                Ngomong apa sih lo, saya membatin.
                Saya heran dengan yang barusan saya ucapkan. Terdengarnya begitu berani, begitu mantap, dan begitu—uppps—rohani. Padahal saya nggak segitunya. Bahkan pribadi saya jauh, jauh, jauh lebih bobrok dari ucapan saya itu.
                “Ya baguslah, kalau kau memang sudah yakin. Tapi aku tetap nggak yakin kau kuat di asrama itu, Butet. Empat tahun itu lama lho,”
                “Kurasa kalau belajar sungguh-sungguh pasti juga terasa cepat berlalu, tulang.”
                “Jangan salah kau. Disana nanti nggak ada temanmu, nggak ada keluargamu, nggak ada mamakmu, memang bisanya kau? Kadang-kadang kita nggak mengenal diri kita sendiri lho,”
                “Mmmm... Aku yakin sih tulang, kalau Tuhan sudah memanggil, Dia pasti memampukan. Tapi kalaupun Dia tidak mampukan, ya itulah salibku tulang.”
                Bah, salah omong lagi nih. Saya rasa penakut seperti saya tidak sepantasnya berucap demikian.
                “Ya udah, baguslah itu. Kita doakanlah ya Butet,”
                “Iya tulang.”
                Sepulang dari Pasar Senen—dari perjalanan hingga tiba di rumah—pembicaraan kami ini terus menjadi perenungan bagi saya. Saya ini kok sepertinya tidak tahu diri, ya. Sok jago saya omong-omong seperti itu. Padahal saya ini lemah sekali. Bagaimana mungkin saya sanggup hidup sendiri di kota orang?
                Bersyukur, sekali lagi saya (dan saya harapkan para pembaca juga) diajar oleh Tuhan. itulah panggilan, dan untuk menggenapi panggilan itu ada harga yang harus dibayar. Kalau motivasi saya adalah menjawab kebutuhan dunia akan orang-orang yang berpikiran surgawi tetapi berpijakan bumi, ya pengorbananlah jawabannya. Selama kaki manusia masih menginjak bumi—manusia manapun—tidak akan pernah terlepas dari kesukaran dan penderitaan. Mazmur 90:10 mencatat demikian. Ya, masa hidup manusia tujuh puluh tahun, sekuat-kuatnya delapan puluh tahun, dan kebahagiaannya adalah kesukaran dan penderitaan.
                Inilah konsekuensi logis yang akan diterima bila seseorang memilih hidup melayani. Selama ada hidup pasti harus melayani, dan selama ada pelayanan pasti harus menderita. Itulah pelayanan, itulah salib. Ah, ini dalam banget! Sebenarnya saya ini orang yang paling tidak suka menderita. Saya paling nggak mau susah, paling nggak mau repot. Tetapi kenyataannya saya harus menempuh dunia penuh penderitaan sebentar lagi. Jelas ketidaksinkronan ini membuat saya berpikir sekali lagi untuk mundur. Saya rasanya bukan orang yang tepat untuk panggilan-Mu, Tuhan. Itu terlalu mulia bagiku, sedangkan aku terlalu tidak layak untuk itu. Tuhan, pakailah mereka yang lebih kuat daripadaku.
                Dalam salah satu kesempatan ngobrol dengan Mama, saya mendapat jawaban pertama. Saya bilang sama mama kalau saya nggak mau memilih sekolah teologia lagi. Yang pertama ditanyakan tentu apa alasannya, dan saya bilang saya nggak mampu. Saya takut apa yang saya omongkan gak bisa saya genapi dalam hidup sehari-hari. Saya takut dengan mental dan psikis yang masih seperti ini, saya tidak akan menjadi pelayan Tuhan yang efektif. Lantas mama bilang, kalau kau di istana saja sudah kotor, apalagi kau mau ke lumpur, malah lebih kotor lagi. Maksudnya, kalau saya di sekolah teologia saja sudah bobrok, sudah berdosa, apalagi saya lepas dari pelayanan, tentu bisa jadi lebih bobrok lagi karena gak ada batasan-batasannya disana. Setidak-tidaknya, kalau bobrok di sekolah teologia, ada dosen dan teman-teman yang akan ambil andil dalam pembersihan saya atas kebobrokan dan tentunya membentuk saya semakin serupa Kristus.
                Jawaban kedua, saya dapati dalam salah satu perenungan saya. Efesus 4:1 menasehatkan orang-orang yang telah dipanggil untuk hidup berpadanan dengan panggilan itu. Inilah kekuatan bagi saya. Masih ada waktu untuk mempersiapkan diri, masih ada waktu untuk berlatih kuat dalam penderitaan. Meskipun tidak ada penderitaan yang bisa menjadi simulator untuk penderitaan berikutnya karena level terus naik, minimal sikap hati dan cara pandang saya dalam mengelola masalah akan terus diperbaharui dan disempurnakan di dalam Dia.
                Pada akhirnya tetap ada pengharapan, bahwa “segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:13) tetapi juga bukan merupakan ancaman untuk menuduh Allah tidak memenuhi keinginan saya, sebab iman yang melandasi motivasi pelayanan dan memikul salib itu terlebih dahulu harus dibenarkan, seperti kata Sadrakh, Mesakh, dan Abednego: “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” Bagi saya, mungkin nats tersebut hampir sama bunyinya dengan, “Jika Tuhan yang telah memanggilku sanggup menuntunku dengan melancarkan perjalananku di sekolah teologia dan di ladang pelayanan kelak, maka Ia akan melakukannya. Namun jika sekali-kali Ia tidak melancarkan jalanku, melainkan penderitaan yang harus kutempuh, sekali-kali aku tidak akan menyingkirkan diri dari ladang pelayanan itu.”
Oh Tuhanku, tolonglah aku untuk tidak hanya berkata, melainkan juga percaya. Dan tidak hanya percaya, melainkan juga memperjuangkan dan menggenapinya. Soli Deo Gloria!

Ku rela segenap hati,
Memikul salibku
T’rima cawan pahit serta-Mu,
Pimpin ke Kalvari!
(Pimpin ke Kalvari—KPPK)

0 komentar:

Posting Komentar