Pages

Senin, 02 April 2012

Pada Akhirnya, Tentang Sebuah Motivasi

Ini cerita yang terjadi beberapa waktu lalu, yang sepertinya sederhana saja tetapi maknanya menusuk dalam hingga kedalaman hati saya. Oke, mari kita mulai J
Sore itu saya berada dalam sebuah bus pariwisata, duduk tepat disamping mama, dalam perjalanan Carita—Jakarta. Kami baru saja mengikuti kegiatan Gathering Pengurus Persekutuan Alumni Kristen Sumatera Utara (PAKSU), dimana mama saya adalah ketuanya dan akhirnya saya diajak turut serta berlibur di pantai yang amat menyenangkan itu.
Dalam perjalanan, mama lebih banyak tidur sementara saya bermain teka-teki bersama tante Saktien Silalahi, menkeu-nya PAKSU, dan tulang Surendra, mendagri-nya PAKSU (aduh maaf tante dan Tulang kalau titel yang saya berikan kurang pas, hehehehe). Kami bermain teka-teki hingga tulang Surendra tertidur dan yang menjengkelkan adalah ketika saya tidak mampu menjawab teka-teki terakhir yang diberikan Tante Saktien. L
Setelah bosan bermain, saya ikutan tidur di sebelah mama. Entah jam berapa kami terbangun untuk singgah sebentar ke-rest area lalu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tulang Michael Siahaan, Ketua Pansus P-144 PAKSU (halah, apa pula ini) mengambil posisi duduk di kursi tepat di belakang mama, lantas berbicara kepada mama,
“Kak Esra, si Mia ini katanya mau masuk sekolah Alkitab juga ya?” nah lo. Skak mat nih, dalam hati saya. Padahal saya merasa belum pernah mengatakannya terang-terangan kepada tulang itu. Saya cuma pernah mengakui interesting-nya saya dalam dunia perteologian, dan saya menikmati bincang-bincang kami tentang value added suatu benda yang akhirnya nyasar ke predestinasi.
“Iya nih tulang, makanya kau jadi tim dananya ya,” jawab mama sekenanya.
“Memang sudah diputuskan begitu?” tanya tulang Mike lagi.
“Sekarang lagi cari referensi sekolah tulang, mau di Parapat atau di Malang.” Kali ini saya yang menjawab, dengan jawaban khas anak mimbar yang nada suaranya dibuat sebijak mungkin.
“Kalau menurut tulang, kau coba di SAAT Malang aja. Tapi motivasinya harus benar,” lanjut tulang itu, sesaat sebelum ia kembali ke tempat duduknya—kalau tidak salah karena ada yang memanggil namanya.
Saya jadi terhenyak, sepertinya perkataan pamungkas tulang Mike itu amat mengena di hati saya. Saya lantas melanjutkan diskusi dengan mama (sebenarnya sudah sangat sering diskusi tentang sekolah lanjutan kelak, tapi rasanya nggak habis-habis dibahas)
“Ma, apa ya motivasiku?” tanya saya bloon.
“Lho, kok mamanya ditanya. Emang siapa yang mau sekolah Alkitab?”
“Yaa.. aku gak punya motivasi yang kuat ma. Lagian, motivasi itu apa sih? Sekarang aku bener-bener gak ngerti motivasi itu yang kayak mana.”
Mama lantas menertawakan saya.
“Penulis masa gak tahu motivasi. Gini, kau mau jadi hamba Tuhan itu karena apa? Karena kau aggap hamba Tuhan itu mulia, atau karena kau lihat fasilitas yang didapatnya?”
“Enggak dua-duanya ma, orang aku gak bercita-cita jadi pendeta. Tetapi rasanya ada sesuatu yang membuatku gak bisa menolaknya,” kata saya.
“Ya.. kalo ditanya nanti, bilang aja memang bukan cita-cita saya jadi hamba Tuhan, tapi Tuhan yang memanggil saya, jadi saya taat.”
“Emangnya mama pengen ya kalo aku jadi pendeta?”
“Ya pengenlah..”
“Kalo gak kaya?”
“Emang sekarang kita kaya?”
“Duh, bukan ma. Maksudku kalo nanti aku udah gede gak bisa ngasih apa-apa, kayak manalah itu?”
“Emang Mama pernah minta dikasih apa-apa?”
“Ya nggak sih ma, tapi...”
“Ah, udah gak usah pikirkan itu. Sekarang tidur aja dulu, bisa itu dipikirkan nanti.”
Akhirnya percakapan kami pun terhenti, dan mama melanjutkan tidurnya kembali. Namun sepanjang jalan menuju Jakarta, hingga kami tiba, saya tidak dapat berhenti memikirkan dan mempertanyakan kepada diri saya sendiri. Apa alasanmu mau masuk sekolah Alkitab? Paling tidak, kalau itu bukan maumu, apa alasanmu untuk menjawab “ya” sama Tuhan?
Apa ya?
Jadi hamba Tuhan itu kan mulia, pasti masuk surga.
Ah, kata siapa. Nggak sepenuhnya begitu. Keselamatan kan urusan pribadi setiap orang dengan Tuhan. Siapapun dia, pendeta sekalipun, kalau belum sungguh terima Yesus ya tidak akan masuk surga.
Apa ya?
Jadi hamba Tuhan itu biar bisa memenuhi harapan mama.
Dulu mama pernah bilang, anak-anaknya kelak harus ada satu yang jadi pendeta, satu yang jadi  pelayan kesehatan, dan satu lagi abdi negara. Kaulah yang pendeta ya, boru. Dulu mama pernah bilang begitu.
Nggak. Emang yang nanti naik mimbar itu mama?
Emang yang nanti memikul salib dan menyangkal diri itu mama?
Emang yang digojlok makan bahasa Ibrani—Yunani—Aram tiap hari itu mama?
Emang hidupku ini hidup mama?
Enggak lah.
Lantas apa?
Akhirnya saya menyerah. Mungkin memang Tuhan tidak panggil, cuma aku yang sok-sokan
Merasa terpanggil. Dalam hati saya menggumam. Tuhan, kalau memang mau-Mu, perjelaslah. Tapi kalau bukan mau-Mu, tunjukkan kepadaku apa mau-Mu. Sudah. Cukup. Saya tidur lagi di sebelah Mama. Sialnya, waktu itu saya tidak bisa terpejam. Apa pula ini, batin saya.
                Karena malas tidur yang dipaksa-paksa, saya iseng membangunkan mama. Saya lupa waktu itu kami cerita-cerita apa. Namun saya tidak bisa lupa waktu itu, sungguh, saya mendapat sebuah gambaran yang jelas yang bisa saya perkatakan.
                “Mama,” kata saya, “aku tahu menjawab apa kalau ditanya nanti,”
                “Menjawab apa? Ditanya apa?” mama belum nyambung.
“Itu, sekolah Alkitab ma,”
“Oh... apa itu?”
“Aku... aku mau jadi hamba Tuhan karena.. dunia ini membutuhkan orang yang memikirkan hal-hal surgawi, tetapi kakinya tetap menginjak bumi,”
“Ah, sok puitis kau. Apa pula itu?”
“Ya.. maksudnya gitu, ma. Dunia ini butuh hamba-hamba Tuhan yang cerdas, yang pintar, yang memikirkan segala perkara surgawi. Tetapi bukan berarti dia terasing atau terpisah dari dunia, melainkan dia tetap hidup dan mengikuti seluruh perkembangan dunia, supaya pemikiran surgawinya itu dapat dikenal dan diaplikasikan oleh dunia. Aku sih ngelihatnya ada kebutuhan disana. Dan aku memandang kebutuhan itu menjadi suatu keterbebanan buat diriku,” papar saya. (waktu menuliskannya, saya merasa bangga dan tidak menyangka kalau saya bisa bertutur seperti ini, padahal aslinya saya nyeleneh).
“Ya sudah, itulah jawabannya. Kau sudah tahu jawabannya kan, kak. Persiapkanlah dirimu, ya.” Kurang lebih begitulah mama mengakhiri percakapan kami.
Saya sungguh bersyukur buat kesempatan yang sudah Tuhan berikan kepada saya untuk menjawab panggilan-Nya dan menemukan motivasi yang kuat di dalamnya. Saya bersyukur ketika saya memutuskan diri saya menjadi abdi Allah, bukan karena (sepertinya) saya dipaksa Allah, atau bukan karena (lagi-lagi—sepertinya) Allah membutuhkan saya. Tidak, tidak, dan jangan sampai terjadi. So what dengan kata dunia sok rohani ketika saya memutuskan diri mau jadi hamba Tuhan.
Dulu saya punya teori yang salah. Saya pikir saya pintar jadi bisa masuk PTN mana saja. Kalau akhirnya Allah panggil saya, ya berarti karena Allah membutuhkan saya. Saya jawab “ya” untuk pamer ke Allah dan orang-orang, ini lho, aku ini pintar. Aku ini bisa masuk jurusan mana saja. Tapi akhirnya aku pilih teologi, kenapa? Karena Allah yang minta! No, it’s a big no.
Memangnya ketika Allah bilang sama Yesaya dalam kitab Yesaya pasal 6 ada tertulis, “Yes, ayo Yes, kamu jadi hamba-Ku ya? Yes, please lah, jadi hamba-Ku ya? Mau kan? Mau deh... ayolah Yes?”
Memang ada begitu? Tidak ada.
Allah cuma bilang, “Siapakah yang akan kuutus? Siapakah yang mau pergi untuk aku?”
Lalu Yesaya sendiri yang bilang—saya ulangi—Yesaya bilang sendiri sama Tuhan, “Ini aku, utuslah aku!”
Memangnya Allah tidak bisa membalikkan kata-kata Yesaya, “Memangnya siapa lo, sok-sokan mau diutus?”
Tetapi tidak, karena sesungguhnya panggilan adalah kasih karunia. Kasih karunia ketika kita menyadari kalaui kita orang berdosa. Kasih karunia ketika kita menerima pengampunan dan keselamatan dalam Kristus. Kasih karunia ketika kita mendengar panggilan-Nya, dan kasih karunia ketika kita menyerahkan diri dan membuktikan eksistensi diri kita dalam menjawab panggilan-Nya. Hidup ini adalah pengiringan akan Tuhan, yang berarti penyerahan diri menuju panggilan dan rencana Tuhan.

“Panggilan adalah natur Allah, sementara pelayanan adalah natur manusia, yang lahir dari pengetahuan dan pengenalannya akan keberadaan dirinya dan keberadaan Allahnya.”
(dikutip dari Oswald Chambers, “My Utmost for His Highest”, dengan perubahan dari saya).


Jakarta, hari pertama di bulan April tahun dua ribu dua belas
Dari seorang anak kecil yang sedang mempersiapkan dirinya terjun ke ranah teologia.

0 komentar:

Posting Komentar