Pages

Kamis, 29 Maret 2012

Oppung, oh Oppung

Setengah hari Kamis dan setengah hari Jumat kemarin, saya kerajingan menggeluti tulisan-tulisan karya Bapak (alm.) Mula Harahap yang termuat dalam bukunya Oppung Odong-Odong, yang tidak lain tidak bukan adalah kumpulan tulisan-tulisan di blog Beliau (yang ditulisnya semasa masih hidup) www.mulaharahap.wordpress.com.
                Sebenarnya tulisan-tulisan itu tidak terlalu penting untuk saya ikuti dan saya ketahui, tapi saya bersyukur saya bisa membacanya. Kisah-kisahnya tidak serapi karya ilmiah, tidak seakademis karya disertasi, namun inspiratif dan positif. Pandangan beliau mengenai hidup, keluarga, masyarakat, dan Tuhan, tergambar jelas melalui ungkapannya yang jujur (menurut saya sih—kelewat polos), tetapi menyenangkan. Hati saya tenang teduh membacanya, tidak penuh huru-hara seperti sedang membaca artikel debat sengit antar para mafia politik.
                Tulisan-tulisan itu pula yang membawa saya seolah-olah “pulang” ke Tanah Batak. Bagi saya, si Batak karbitan ini, yang belum pernah sekalipun pulang ke Jangga, muatan dalam buku tersebut semakin menambah keinginan saya untuk mengunjungi rumah Oppung saya (orangtua mama) di Jangga, suatu saat kelak. Dan bonus tambahan lagi, selepas membaca buku itu, hati saya langsung diliputi rasa rindu (kangen) terhadap Oppung.
                Oppung saya memang tidak secanggih Oppung Mula Harahap; tetapi harus diakui bahwa bila dibandingkan dengan kebanyakan oppung-oppung lain seusianya (ssst... oppung saya usianya sudah kepala 6),  pola pikir oppung saya gaul bener. Beuh, kalau mama saya sedang menelepon oppung boru (nenek), mereka suka bercerita segala macam hal, peliknya hidup di kota Jakarta ini, dan yang membuat saya tak habis pikir adalah bisa-bisanya oppung ini menasehati mama dengan nasehat yang relevan (menurut saya sih, tapi saya nggak tahu ya bagaimana menurut mama saya) padahal frekuensi oppung datang ke Jakarta aja belum tentu setahun sekali. Apalagi oppung doli (kakek). Beliau bisa balas sms kita dengan bahasa yang gaul pula, misalnya dengan menggunakan singkatan macam “ok”; “thx”; beuh... canggih bener, Pung....
                Oppung menyatakan kepada saya apa arti dari “kuasa doa”. Bulan Oktober di tahun 2011 yang lalu, di hari terakhir kedatangan Oppung ke Jakarta, saya menginap satu malam di rumah tulang (ito dari mama saya) dan tidur sekamar dengan Oppung. Jam empat pagi saya ingat betul Oppung terbangun lalu bersujud di atas tempat tidur itu, masih di sebelah saya, lantas menyanyikan lagu-lagu pujian dan mulai berdoa memanggil nama Tuhan. Saya masih ngantuk waktu itu dan masih jam empat pula, saya modom (tidur) lagi. Kira-kira satu jam kemudian mama membangunkan saya, berarti pukul lima, saya lihat oppung masih stay dengan posisi yang sama. Saya pikir, gile bener oppung gue, gila berdoa. Dan mulai berbagai pertanyaan timbul dalam benak saya, apa kaki oppung nggak kesemutan ya bersujud sekian lama? Apa bahan “obrolan” dengan Tuhan gak abis-abis? Entah oppung berhenti berdoa jam berapa, saya lupa. Tapi menurut saya itu sudah lama buanget durasi doanya. Hehehe J
                Tapi memang hal tersebut dinyatakan juga melalui kehidupannya. Sepasang petani sederhana yang mampu mengantar ketujuh putra-putrinya sampai di kancah profesional dalam dan luar negeri, apa lagi kalau bukan kuasa doa? Ketujuh putra dan putri oppung satupun tidak ada yang jadi petani sederhana seperti oppung (ini kan yang suka dibilang para orangtua sama anaknya “belajarlah yang benar kau.. jangan jadi seperti aku ini,”) dan oppung saya membuktikannya, bukan hanya mengucapkannya J
                Dan lagi, ketujuh putra putri sukses itu tidak ada satupun yang melupakan orangtua mereka. Entah pasti ada yang pulang kampung setiap tahun atau paling tidak menelepon beberapa hari sekali, saya rasa itu sebuah penghormatan. Kalau menurut mama saya, oppung doli mendidik ketujuh anaknya dengan keras (baca: kasar). Seringkali kalau saya sudah ngedumel sama mama, beliau mengatakan “kalau saya dulu buat begini, sudah dipukuli saya sama oppungmu itu” dasar nakal, bukannya saya diam malah saya balas kata-kata mama itu. “Ya udah, mama pukul aja aku. Biar sama kayak oppung” (woi, jangan tiru yang begini ya, nggak benar itu. Sekarang saya sudah nggak pernah kayak gitu lagi kok J). Pertama saya mendengar cerita seperti itu dari mama, saya pikir pasti ada kekuatan magis dibalik pukulan oppung yang bisa menjadikan anak-anaknya taat (tunduk) padanya. Ternyata setelah saya pikir-pikir baru saya menyadari, yang memampukan ketujuh anak oppung taat dan hormat kepada oppung bukanlah pukulan oppung, melainkan kasih mereka yang memancar karena kepercayaan mereka kepada Kristus. Mengapa mereka bisa sampai menerima Kristus dalam hidupnya? Ya saya juga tidak tahu, saya rasa itulah buah dari doa-doa oppung boru selama ini.
                Satu lagi kisah menarik tentang oppung adalah pada waktu mama menasehati saya si potensial diabetes ini untuk jangan kebanyakan makan lagi. “Dulu, oppung doli, oppung boru, sama salah satu tulangmu baru pulang dari ladang. Mereka itu biasanya langsung cari kue untuk dimakan sepulang meladang. Hari itu entah kue apa yang mereka makan, nampaknya mokkus (rakus) kali. Sudah beberapa lama setelah makan-minum mereka, satu persatu sakit perut luar biasa hingga dibawa ke rumah sakit (saya tidak tahu mengenai rumah sakitnya, entah macam RS Elizabeth di pusat kota atau rumah sakit yang ada di desa itu) dan ternyata mereka menganalisis sendiri penyebab mereka jadi seperti itu, ternyata kue yang mereka makan sudah kadaluwarsa.” Saya tergelak mendengarnya. “Makanya kak, kau jangan terlalu mokkus,” lanjut mama saya waktu itu.

Oppung, oh Oppung J
Right or wrong, his/her still and always be my oppung J

Untuk oppungku di Jangga Toruan, W. Manurung dan H. br Sirait

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tertegun ketika harus mengingat nama itu kamu sebut lagi dek..
Salamku buat oppung yah, juga buat mamamu..

Posting Komentar