Pages

Kamis, 16 Februari 2012

Menjadi Seperti Mereka

Saya sedang bertanya-tanya mengenai kondisi diri saya. Apakah saya ini anak yang aneh? Secara fisik, saya tidak menemukan keanehan apapun dalam diri saya. Saya sempurna dan indah. Itu yang saya yakini karena Pencipta saya amat mengasihi saya.
                Saya merasakan adanya keanehan dalam susunan sistem saraf yang membentuk otak saya. Saya tidak habis pikir mengapa saya berbeda dengan teman-teman saya. Di usia SMA seperti ini, hampir seluruh teman sekelas saya tergila-gila dengan boyband asal Korea. Entah yang namanya Super Junior, Big Bang, SNSD, atau apalah itu, saya juga tidak hafal. Mereka koleksi foto-foto boyband itu di HP mereka, baca fanfiction di website tertentu, download lagu-lagu dan videonya, dan sebagainya. Saya pernah penasaran hingga menumpang lihat di HP teman baik saya. Tapi kok bagi saya boyband yang mereka bilang ganteng dan keren itu tidak lebih dari cowok-cowok perlente yang suka berfoto dan bergaya. Saya kurang suka. Memang saya akui mereka punya daya tarik besar dan ada beberapa personil yang mungkin musikalitasnya baik, tapi saya kok rasanya kurang suka. Sudahlah, jangan terlalu banyak kita membahas boyband, nanti dikiranya saya mengecam mereka melalui tulisan ini. Tidak, sama sekali tidak.
                Saya hanya bingung saja, mengapa kesukaan saya kok berbeda dengan kesukaan teman-teman saya pada umumnya. Saya lebih suka berjam-jam duduk diam membaca buku rohani, menelaah pemikiran pemuka-pemuka teologi, atau mencermati situasi sosial politik bangsa ini. Atau kali lain saya menghabiskan waktu dengan menulis. Mengguratkan kata demi kata buah cinta saya dengan pemikiran dan kondisi sekitar. Atau kalau keluar rumah, saya juga bisa berjam-jam mengobrol dan bertukar pikiran. Mungkin wajar kalau bicara dengan teman sebaya. Tapi mengapa saya lebih suka berdiskusi dengan mereka yang usianya lebih jauh di atas saya? Entahlah, beberapa kali saya pikir saya aneh. Memang saya masih suka juga baca komik, internetan, atau dengar musik, tapi selera saya sepertinya jauh beda dengan selera anak sesusia saya lainnya. Ditengah banjirnya komik komedi cinta, saya lebih memilih detektif dan suspense.  Sepertinya tinggi-tinggi, begitu.
                Tapi saya tidak dengan sengaja menciptakan ke”tinggi-tinggi”an itu. Saya rasa, perbedaan saya itu lahir secara alamiah, perpaduan antara latar belakang hidup yang tidak lazim, daya cermat yang berbeda dari teman-teman seusia saya umumnya, dan relasi sosial yang saya miliki di tengah-tengah kondisi sosial politik bangsa yang tidak menentu, itulah yang menyebabkan saya berbeda dengan remaja lain. Saya tidak terbeban dengan itu, saya menikmatinya. Hanya mungkin saya agak risih dan tidak nyaman apabila teman di sekolah tidak nyaman bergaul dengan saya. Mungkin mereka malas bergaul dengan saya karena saya tidak sama kesukaannya dengan mereka.
                Untuk itulah, saya masih belajar. Belajar tetap menjadi kecil dan jangan sampai membesar. Saya ini berpotensi supertinggi untuk menjadi supersombong, itulah naluri alamiah saya. Amat sulit sekali menjaga sikap dan tutur kata supaya jangan menjadi sombong. Saya belajar untuk tetap menjadi 16 dan bukan menjadi 61 tahun. Saya tetaplah remaja yang normal, yang senang rumpi dengan teman-teman bila habis melihat cowok yang tingkat ketampanannya melebih cowok-cowok sekelas. Saya tetap suka bercanda dan tertawa, meskipun ada saatnya saya serius hingga kening berkerut-kerut. Saya harus tetap membumi, meskipun saya berpikir hal-hal surgawi.
                Yang terakhir ini adalah perenungan mengenai keanehan diri saya dan korelasinya dengan panggilan Allah kepada umat-Nya. Orang Kristen memang dipanggil untuk berbeda dari dunia tetepi bukan menjauhi dunia. Orang Kristen dipanggil untuk berbeda dari dunia tetapi juga untuk memperlihatkan perbuatan baiknya kepada dunia supaya dunia mengikuti teladan Bapa di surga. Dan satu-satunya cara untuk memperlihatkan perbuatan baik di dunia adalah dengan tetap ada di dunia. Rasul Paulus meneladankannya dengan jelas, dimana ia “tidak menjadi serupa dengan dunia ini” tetapi secara seimbang ia juga jago beradaptasi, bila di Yunani ia menjadi seperti Yunani, bila di Yahudi ia menjadi seperti Yahudi. Menurut saya yang perlu digarisbawahi adalah kata “seperti”. Bila kata “seperti” dihilangkan dari pernyataan tadi, tentu Paulus tak ubahnya sebagai bunglon yang tidak punya jati diri. Untungnya, ia hanya “seperti”. Biar kesepertiannya itu membuka jalan baginya untuk masuk ke tengah-tengah bangsa itu dan menginjili mereka. Hebat!
                Saya juga ingin bisa seperti itu. Masuk ke dalam kumpulan teman-teman saya untuk memenangkan mereka bagi Tuhan, dengan menjadi seperti mereka dan bukan mejadi mereka. Memang saya berbeda, tetapi perbedaan itulah kasih karunia bagi saya. Memang saya berbeda, tetapi justru dalam perbedaan itu saya memuliakan Tuhan. Memang saya tidak suka boyband yang disukai teman-teman saya, tetapi toh saya tetap suka bergaul dengan teman-teman saya. Memang saya suka membaca dan menulis tetapi kadang lebih nyaman foto bareng dengan teman-teman. Disanalah kesempatan berbagi kasih dengan mereka, ketika menjadi seperti mereka dengan tetap teguh memegang identitas saya. Dengan menjadi seperti mereka, dan bukan membunglon menjadi mereka.

Hanya dengan pertolongan Tuhan aku dapat melangkah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bukan berbeda, tapi unik. :)
God has a purpose by making you thinking 'extraordinarily' as compared to your peers.
I had an crazy BIG dream when I was 13. :)
He has a great plan for you.

Posting Komentar