Pages

Senin, 19 Desember 2011

Terlalu Panjang!

                  Semakin hari, rasanya saya jadi semakin tergila-gila dengan dunia baca—tulis. Setelah merampungkan “Dukaku Tempat Kudus-Mu” karya Yohan Candawasa, kini saya beranjak menyantap “My Utmost for His Highest” besutan  Oswald Chambers. Membaca itu kegemaran saya sejak umur 3 tahun, dimana anak-anak lain maunya didongengi sebelum tidur, saya selalu merengek mebaca majalah sendiri (hanya kepingan kecil yang saya ingat, sisanya sudah lupa, hahaha). Sepertinya ada keasyikan tersendiri yang tidak dapat terkatakan apabila saya sudah bergaul dengan buku. Saya bukan hanya menyukai isi bacaan saya, bukan hanya mengagumi buah pikiran sang penulis, melainkan lebih mencintai kegiatan membaca itu sendiri. Namun yang saya heran, ada satu buku yang dari kecil saya baca, tetapi sampai usia SMA begini tetap belum selesai juga, yaitu Alkitab!             
             Begitupula dengan menulis. Semakin banyak bacaan saya, semakin menggebu-gebu semangat saya untuk menumpahkan pemikiran dan kata-kata yang lalu lalang di otak saya ini menjadi rangkaian-rangkaian frasa yang rapi. Saya pertama kali menulis puisi kelas 1 SD, namun saya jadi mencintai kegiatan tulis-menulis ini setelah kelas 3 SD. Dulu saya menulis puisi dengan gaya khas anak-anak di buku tulis, dan jumlahnya sudah lumayan banyak. Sayang, sekarang saya tidak tahu lagi tulisan masa kecil saya ada dimana. Waktu SMP juga, lumayan banyak karya yang saya ketik di laptop gereja, berhubung gratis (inilah yang salah, memakain fasilitas gereja untuk kepentingan pribadi). Pada saat laptop tersebut sakit dan di program ulang, kontan semua tulisan saya ludes. Miris rasanya, sejak itu saya enggan menulis lagi.
                Namun kalau sudah cinta, apa boleh dikata. Setiap hari selalu ada hal-hal dan pemikiran menarik yang saya dapatkan—saya percaya semua itu datangnya dari Tuhan, Allahku Sang Penulis Skenario Kehidupan—dan saya tertarik untuk menuliskan hal-hal menarik tersebut!
                Saya bersyukur sekarang saya menyadari menulis bukan hanya sebagai kegiatan iseng ataupun membunuh waktu, melainkan sesuatu yang saya tekuni dengan serius. Saya bersyukur mempunyai begitu banyak kisah dalam hidup yang selalu dapat dijadikan tulisan baru. Saya percaya kisah-kisah yang saya alami dan rasakan semuanya bersumber dari kasih sejati yang saya terima dari Sang Mahakasih. Kasih karunia yang tak pernah habis senantiasa mengalirkan kisah-kisah seru! Dan inilah komitmen saya, karena kasih-Nya padaku, aku akan setia menuliskan kisahku untuk kemuliaan-Nya.
                Satu lagi, bagi saya menulis merupakan sarana mengubah dunia. Orang Indonesia pada umumnya hobi marah dan protes. Protes keadaan ekonomi, keadaan hukum, keadaan politik, semuanya diprotes. Tetapi mereka tidak mengkritisi atau mencari solusi atas protesnya itu. Paling-paling demo atau coret-coret gedung DPR. Sebagai salah satu orang Indonesia, saya enggan bersikap serupa. Saya rasa akan lebih baik apabila saya menuangkan pemikiran positif saya bagi bangsa ini dalam rangkaian kata, dalam tulisan, karena tulisan sifatnya lebih abadi daripada suara yang saya teriakkan. Logisnya begini, kalau saya teriak-teriak di depan kantor menteri, saya tidak akan didengar melainkan akan segera dibungkam oleh aparat keamanan. Namun apabila saya menulis, bisa saja tulisan saya masuk koran, dan koran tersebut sampai ke meja Pak Menteri. Atau, iseng-iseng Pak Menteri buka facebook, lalu melihat alamat blog saya, bukan mustahil akan dikunjungi dan tulisan-tulisan saya akan dibaca.
                Tetapi, itulah kecenderungan. Makin lama saya menulis, saya merasa tulisan saya makin panjang. Sekarang saya lebih mudah membuat esai panjang daripada opini pendek. Padahal kalau kepanjangan juga malas orang baca!
                Tetapi kembali kepada hakikatnya, itulah proses belajar. Tidak tahu jadi tahu, tidak terampil jadi terampil. Sampai pada saat ini pun saya haus untuk terus belajar. Belajar untuk membaca lebih baik, dan mempraktekkan nilai-nilai positif yang sudah saya baca. Belajar untuk menulis lebih baik, dan menulis lebih baik sebagai sebuah sarana pembelajaran. Tidak ada yang terlalu tua untuk belajar, tidak ada buku yang terlalu tebal untuk dipelajari, dan tidak ada yang namanya terlalu panjang selama proses belajar. Belajar nilainya kekal abadi, sekalipun raga kita nanti akan mati, tetapi ilmu yang tersimpan dalam pikiran dan sanubari dapat menjadi warisan berarti bagi anak cucu kita nanti.

Mari Belajar!

1 komentar:

Isha Merdeka mengatakan...

Salut untuk 'kegilaan' baca tulis Anda. Saya rasa ada bacaan yang 'wajib' Anda baca disini: http://ishamerdeka.blogspot.com/2011/08/kepastian-masuk-surga-kristen-dan-islam.html

Posting Komentar